Lingkunganhidupisme, Statisme dan Krisis Pangan

7 April, 2008 at 10:06 am 6 comments

Environmentalism relatif masih jarang dikritisi di negeri ini, apalagi dalam perspektif kebebasan individu. Bahwa kata padanan atau serapannya saja belum ada dalam bahasa Indonesia adalah satu buktinya. Paham ini akan disinggung di sini terkait dengan melonjaknya harga komoditas pangan di pasar global saat ini. Untuk mengatasi ketiadaan istilah, padanan sementara yang dipakai adalah lingkunganhidupisme.

Lingkunganhidupisme, paham yang semakin mengaglomerasi di atas landasan yang secara sekilas sepertinya tidak perlu dipertanyakan, sering dijadikan senjata untuk menampik kapitalisme, baik secara total maupun parsial.

Berbeda secara diametral dari apa yang dialami oleh kapitalisme yang cenderung dihujat , “nasib” lingkunganhidupisme cenderung diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat bermoral dan patut diterima.

Sebagai senjata tambahan untuk menepis kapitalisme, lingkunganhidupisme menyatakan diri sebagai paham yang ingin mempertahankan dan menyelamatkan lingkungan hidup dari ketamakan pengusaha. Dengan kata lain, isme ini mencoba melindungi lingkungan hidup dari manusia.

Dengan tujuan/dalih mencoba mempertahankan keasrian alam, para juru kampanyenya melaju di jalur politik dalam kendaraan ombibus mahabesar yang bernama Negara. Proponen lingkunganhidupisme dengan kendaraan statisme membawa kemanusiaan menuju kepada penurunan produktivitas, kelangkaan komoditas, kemunduran tingkat hidup, dan akhirnya kehancuran peradaban.

Salah satu wujud hasil dari cara pandang yang sedang menjadi ortodoksi ini adalah negativitas yang berlimpah, dan kecenderungan yang membabi-buta, dalam memandang capaian akal manusia, terutama di bidang teknologi. Sebut di sini kekuatiran sebagian dari kita terhadap dampak CFC–temuan sistem refrigerasi yang berjasa dalam mempertahankan kesegaran pangan hingga berhari-hari; atau paranoia selebritis atau kepedulian politis terhadap bahan bernama plastik, yang sudah jelas bermanfaat terutama dalam memproduksi alat-alat medis penolong hidup manusia; atau penggunaan medium kertas yang konon bertanggungjawab atas hancurnya jutaan hektar hutan di seluruh dunia.

Menarik untuk mengintip solusi apa yang paling jauh dapat ditawarkan oleh paham ini selain intervensi koersif baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun sipil (yang tiba-tiba mendapat legitimasi) terhadap para pengusaha, yang pada akhirnya hanya mengendala proses produksi. Tindakan preventif? Ajakan untuk berhemat? Dorongan untuk mengurangi produksi atau konsumsi? Sejauh mana dan apa dasar kesinambungannya?

Dalam sistem sosial yang berorientasi pada profit making, pengakuan terhadap pengejaran kepentingan pribadi dan penjaminan atas hak milik ini, proses produksi yang (berpotensi) menimbulkan ekses mencederai orang atau hak milik orang lain akan mendapat sanksinya yang adil. Sistem yang mengakui pentingnya profit membuka pintu kemakmuran bagi siapa saja yang mampu memenuhi keinginan masyarakat. Prinsipnya sederhana: hasilkan saja produk/jasa terbaik atau termurah bagi masyarakat; kekayaan hanya dapat dicapai dengan melayani konsumen. Sistem ini bernama sistem pasar; istilah pejoratif baginya: kapitalisme–ini sistem yang sering dianggap biang keladi persoalan oleh lingkunganhidupisme. Tapi berbeda dari lingkunganhidupisme, dalam kapitalisme pengubahan alam sekitar tidak dinafikan, melainkan justru ditekankan demi perbaikan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi manusia.

Namun, disadari atau tidak, sistem sosial yang dominan saat ini sepertinya semakin menjauhkan pemahaman terhadap perbedaan makna antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik pada hakikatnya selalu mengandalkan koersi, kekerasan, power, dan pemaksaan dan untuk itu melengkapi diri dengan instrumen-instrumen koersifnya.

Kekuatan ekonomi mengandalkan kebebasan individu, persuasi dan kemampuan mandiri untuk menghasilkan sesuatu yang riil demi meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan semua pihak yang pada dasarnya amat menentukan eksistensi pemilik kekuatan ekonomi itu sendiri.

Tanpa kesadaran akan pentingnya arti kebebasan dalam perekonomian, desentralisasi yang niatnya mendekatkan pemerintahan kepada rakyat, hanya menjadi peternakan pemerintahan. Paradigma yang dominan saat ini adalah keyakinan akan pentingnya mengedepankan kekuatan mesin-mesin politik, dan bukan mesin-mesin ekonomi. Politik sebagai panglima telah menyebabkan riuhnya sepak-terjang para politisi dan pejabat politik di bidang ekonomi. Silakan buka koran dan baca berita ekonomi, isinya hampir melulu sepakterjang pemerintah, bukan para pelaku riil perekonomian.

Kembali ke… lingkunganhidupisme. Ketika memantau dari jauh pertemuan dunia tentang isu global warming di Bali pada bulan Desember akhir tahun lalu, saya sempat melemparkan sebuah artikel di sebuah harian nasional, yang mewanti-wanti ujung dari kecenderungan ini sambil menawarkan perspektif alternatif.

Kini, dampak negatif kolaborasi global antara lingkunganhidupisme dan statisme kini sedang berlangsung di depan mata. Isu-isu seputar bioenergi yang dikemas dengan apik dan mahal pula dalam paket-paket regulasi resmi, nyaris sebagai gerakan moral untuk mencegah potensi kemungkinan buruk di masa depan tanpa pertimbangan memadai atau justifikasi ilmiah yang transparan terhadap nilai keekonomiannya (baik dalam kalkulasi untung-rugi secara realistis maupun dampak sosialnya dalam jangka panjang), kini menyeruak dan menimbulkan ekses yang nyata-nyata merugikan di jaman sekarang kita hidup.

Kampanye global tentang global warming dan bioenergi telah menghadapkan pemerintahan dan warga-warga dunia kepada situasi yang sulit dan pelik berupa kenaikan harga-harga pangan. Yang percaya pada statistik dipersilakan untuk menatapi kenaikan harga dalam grafik-grafik komoditas pangan dalam beberapa bulan terakhir. Berbarengan dengan dampak domino krisis perumahan di AS, kombinasi yang terjadi membuat situasi kita semakin sulit, apalagi bagi negara-negara berkembang di mana komposisi pengeluaran pendapatan penduduk relatif lebih besar di bidang konsumsi bahan makanan pokok (35-50%) daripada di negara-negara maju. Bagi kita di Indonesia, dampak kenaikan harga-harga pangan secara global lebih signifikan daripada persoalan sub-prime mortgages tadi.

Kekuatiran para proponen lingkunganhidupisme akan petaka masa depan telah menimbulkan petaka tersendiri di masa kini. Ketika proponennya dan bahkan pemerintah adikuasa sekalipun tidak mampu mengatasi persoalan ini di masa ini, bagaimana cara mereka dapat menjawab persoalan masa depan?

Cara politik tidak memproduksi apa-apa, dan wishful thinking bukan pilihan.

add to del.icio.us : Add to Blinkslist : add to furl : Digg it : add to ma.gnolia : Stumble It! : add to simpy : seed the vine : : : TailRank : post to facebook

Entry filed under: Ekonomi, Etika & Moralitas, Negara & Pemerintah, Statisme, Volume II. Tags: , , , .

Catatan Kecil Tentang Agflasi Kapitalisme, Ideal Yang Tidak Kita Kenal

6 Comments Add your own

  • 1. Giyanto  |  7 April, 2008 at 7:56 pm

    Ini dilema: di satu sisi, bisa dikatakan adanya kesadaran pelestarian lingkungan, di sisi lain menyebarkan keresahan sehingga berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

    Masalahnya: bangsa kita telah lama menjadi bangsa “beo”. Solusinya: perlu sebuah keberanian!!!

    Reply
  • 2. Nad  |  9 April, 2008 at 12:30 am

    Komentar ini menyadarkan saya akan sesuatu: ternyata definisi statisme perlu diindonesiakan juga. Yg saya maksud dg statisme adalah negara-sentris, atau dalam bahasa gaulnya, dikit-dikit negara, dikit-dikit negara; bukan dalam interpretasinya sbg lawan dinamisme. Apa padanannya kira-kira…?

    Reply
  • 3. Giyanto  |  9 April, 2008 at 8:02 am

    Kalau Chaufinisme kurang cocok, yang tepat barangkali Negaraisme: yaitu paham yang menganggap peran negara sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi problem manusia.

    Sekedar usul untuk melengkapi kosakata Kamus Besar Bahasa Indonesia biar lebih kaya, juga usul untuk disampaikan dalam pengajaran di sekolah. Biar generasi anak bangsa kita tidak teracuni untuk selalu menganggap negara sebagai tempat mendulang rezeki.

    Reply
  • 4. Nad  |  9 April, 2008 at 8:32 am

    Terima kasih. Mulai sekarang saya jadikan definisi kerja: negaraisme!

    Reply
  • 5. tari  |  31 May, 2008 at 7:56 pm

    Stern bukan seorang lingkunganhidupisme, dia adalah seorang ekonom. menurut analisisnya mengenai pemanasan global akan menurunkan pertumbuhan ekonomi global bila tidak segera diatasi -sekarang-. Menurut hemat saya ‘jaman sekarang’ justru telah menuai hasil dari kegiatan tanpa pertimbangan lingkungan yang matang di ‘jaman dahulu’ dan kini potensi kita menghancurkan ‘jaman mendatang’ justru lebih jelas lagi
    salam

    Reply
  • 6. Nad  |  4 June, 2008 at 2:10 pm

    saya sebenarnya agak bingung kenapa nama stern ada di sini. ah, tentunya dr artikel lain! tapi terima kasih atas komentarnya, bu tari!

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations