Posts tagged ‘krisis pangan’

Krisis Minyak, Krisis Pangan dan Mitos Kegagalan Pasar

Dua minggu lalu seorang wartawan senior TH dari harian Jepang yang memfokuskan diri pada bidang pertanian mememinta bantuan seorang rekan saya, SI, untuk meliput suasana kenaikan harga-harga sembako di Indonesia. SI kemudian kebetulan sedikit berbincang dengan saya tentang isu tersebut. Kami mengobrol selama beberapa menit tentang harga, tentang reaksi masyarakat, tentang sejumlah kebijakan yang reaktif, tentang biofuel, dlsb. Akhirnya SI meminta saya untuk membantu TH dalam peliputannya.

Saya tidak keberatan.  Untuk mempermudah pemahaman, saya memberikan dia dokumen tertulis yang menjelaskan butir-butir pemahaman saya terhadap isu tersebut. Yang tertarik dengan uraian saya tentang krisis pangan global, silakan mengunduhnya dari sini.

Singkat kata, baik TH maupun SI sama-sama ingin tahu gambaran solusi pemecahan masalah tersebut. Solusi tentang instabilitas harga pangan kurang lebih sesuai dengan komentar singkat saya terhadap tulisan seorang ekonom di blog World Bank, yang dapat dikunjungi di sini.  Oleh sang ekonom komentar saya tersebut tidak disangkal, tidak didukung, hanya diabaikan.  Saya maklum; pandangan saya kadang kurang selaras dengan pandangan para ekonom.

Tapi percayalah, Anda belum tiba pada poin terpenting dalam artikel yang singkat ini.

Seperti mungkin telah Anda ketahui, dalam beberapa hari terakhir sejumlah ekonom di dalam negeri menyarankan agar harga premium dinaikkan agar selaras dengan harga pasaran di dunia. Dengan kata lain, sejumlah ekonom mulai menganjurkan agar dalam hal energi, pemerintah perlu mengikuti pasar bebas. Sebagian ekonom mengakui hal ini secara malu-malu; sebagian lain masih “berkemaluan besar”. Ya, poin terpenting di sini adalah tentang kekuatan pasar; yang dalam hal satu ini, saya tidak “berkemaluan” sama sekali.

Poin tentang pasar bebas ini terkait erat dengan wawancara saya dengan sang wartawan. Beberapa hari setelah artikelnya terbit (saya dapat kopinya), tepatnya minggu lalu, ia menelepon dari Tokyo untuk menanyakan bagaimana kira-kira solusi atas masalah pangan global tersebut. (more…)

21 April, 2008 at 2:19 pm 2 comments

Lingkunganhidupisme, Statisme dan Krisis Pangan

Environmentalism relatif masih jarang dikritisi di negeri ini, apalagi dalam perspektif kebebasan individu. Bahwa kata padanan atau serapannya saja belum ada dalam bahasa Indonesia adalah satu buktinya. Paham ini akan disinggung di sini terkait dengan melonjaknya harga komoditas pangan di pasar global saat ini. Untuk mengatasi ketiadaan istilah, padanan sementara yang dipakai adalah lingkunganhidupisme.

Lingkunganhidupisme, paham yang semakin mengaglomerasi di atas landasan yang secara sekilas sepertinya tidak perlu dipertanyakan, sering dijadikan senjata untuk menampik kapitalisme, baik secara total maupun parsial.

Berbeda secara diametral dari apa yang dialami oleh kapitalisme yang cenderung dihujat , “nasib” lingkunganhidupisme cenderung diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat bermoral dan patut diterima.

Sebagai senjata tambahan untuk menepis kapitalisme, lingkunganhidupisme menyatakan diri sebagai paham yang ingin mempertahankan dan menyelamatkan lingkungan hidup dari ketamakan pengusaha. Dengan kata lain, isme ini mencoba melindungi lingkungan hidup dari manusia. (more…)

7 April, 2008 at 10:06 am 6 comments

Catatan Kecil Tentang Agflasi

Bagi masyarakat awam istilah ini mungkin masih sedikit asing: agflasi. Jargon ekonomi ini tampaknya akan semakin populer di kalangan ekonom dan pewarta. Dengan kata kunci ini persoalan seputar kenaikan harga pangan yang melanda dunia saat ini dicoba dipahami, disoroti dan disiasati.

Agflasi di sini dipakai sebagai padanan bahasa Indonesia untuk istilah “agflation”. Jargon ini sebenarnya tidak terlalu baru. Dia diperkenalkan perdana di akhir paruh pertama tahun 2007, sekitar bulan April atau Mei. Secara morfologis, dia tercipta melalui proses pembentukan (coinage) istilah baru dari kata-kata yang sudah ada–dalam hal ini “agriculture+inflation”. Pragmatisme yang mendasarinya kurang lebih serupa dengan yang terjadi di tahun 1960-1970-an, saat para ekonom memopulerkan jargon “stagflasi” atau “stagflation”.

Bedanya, kalau stagflasi dipakai untuk menggambarkan kondisi inflasi yang terjadi di saat pertumbuhan perekonomian relatif stagnan atau bahkan turun, agflasi tampaknya dipakai untuk mencerminkan efek inflasif kenaikan harga-harga bahan makanan tersebut.

Agflasi tersirat dalam siaran pers Biro Pusat Statistik minggu lalu, saat melaporkan tingkat inflasi bulanan Maret 20008. Saya katakan tersirat, karena laporan bulanan tersebut memang tidak menggunakan istilah tersebut, tapi selalu mencatat tinggi-rendahnya kontribusi kenaikan harga-harga bahan pangan terhadap inflasi di negeri ini. Dengan kata lain, kenaikan harga pangan diyakini akan menghasilkan efek inflasif terhadap perekonomian. Atau kalau kita mencoba konsisten dengan memakai jargon baru tadi, maka dengan kata lain kenaikan harga pangan berefek agflasif.

Konon, kontribusi pangan thd inflasi

(BPS, Berita Resmi Statistik, 1 April 2008; klik untuk memperbesar)

Ada hal krusial yang perlu dicermati sehubungan dengan penggunaan istilah ini.

Dengan mengatakan bahwa kenaikan harga bahan pangan menimbulkan efek inflasif atau agflasif, berarti kita menerima konsep inflasi sebagai peristiwa kenaikan harga-harga barang. Seperti telah berkali-kali dilaporkan di jurnal ini dalam berbagai artikel baik oleh penulis (mis. di sini, atau di sini) maupun oleh kontributor lain, pemaknaan demikian adalah penyalahgunaan istilah inflasi dalam pengertian klasiknya. Makna inflasi dalam pengertian populer di masyarakat adalah makna yang korup atau sudah dikorupsi.

Dalam definisi klasik, inflasi adalah kenaikan suplai uang dan kredit. Titik.

Kenaikan harga secara umum sebagai cermin penurunan daya beli adalah efek dari, dan bukan penyebab, inflasi. (Jurnal ini pernah menurunkan artikel serial yang menyoroti instabilitas harga dan keterkaitan harga antarbarang.)

Sebagaimana halnya setiap jargon, penggunaan yang cermat dapat mempermudah pemaparan persoalan; penggunaan yang ceroboh berisiko memperkeruh pemahaman terhadap apa yang dicoba diperikan. Dalam hal agflasi, peristilahannya semakin menjauhkan pemahaman pemahaman dasar orang awam ataupun ekonom terhadap istilah inflasi itu sendiri, dan dapat menjauhkan fokus observasi terhadap faktor-faktor sejati pemicu kenaikan harga-harga produk pertanian, dalam skala lokal maupun global.

Secara luas, sesuai teori ekonomi hanya ada tiga kemungkinan untuk itu: 1) pergerakan harga-harga tersebut tidak lepas dari dinamika hukum penawaran-permintaan terhadap komoditas tersebut; 2) konsekuensi logis yang buruk dari proses penambahan suplai uang secara global–baik lewat kucuran kredit murah maupun pencetakan uang kertas oleh pemerintahan di dunia; 3) kombinasi dari keduanya. [ ]

add to del.icio.us : Add to Blinkslist : add to furl : Digg it : add to ma.gnolia : Stumble It! : add to simpy : seed the vine : : : TailRank : post to facebook

7 April, 2008 at 2:50 am Leave a comment


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations