Posts tagged ‘Properti’

Tentang Properti dan Kepemilikan (Bag. 3)

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume II Edisi no. 64 Tanggal 12 Januari 2009
Diposting tgl: 15 Januari 2009
Oleh: Sukasah Syahdan

(Kembali ke Bagian 1)

Cuma ada dua cara kita dapat menjadi pemilik properti: cara sukarela melalui proses produksi termasuk invensi (penemuan) dan pewarisan, dan cara-cara koersif semacam predasi, termasuk pencurian dan penjarahan, dan upaya-upaya predasi terselubung.  Perlu ditambahkan di sini bahwa cara-cara produktif terkait kepemilikan properti tidak dapat dipisahkan dari proses sukarela berupa transaksi pertukaran (exchange).

Pertukaran adalah cara utama.  Cara ini menjamin keberlangsungan perkembangan peradaban. Cara utama ini juga ciri yang membedakan manusia sebagai makhluk hidup dari makhluk hidup lainnya.  Binatang atau tumbuhan tidak mengenal konsep transaksi sukarela. Kalaupun ada, seperti pada hubungan simbiosis mutualisme antara ikan hiu dan ikan remora, hubungan tersebut bukan hasil rancangan hasil pemikiran yang disengaja melainkan insting hewani belaka.

Sebagai konsep, pertukaran sukarela amatlah penting.  Meskipun tampak remeh, pemahaman terhadap konsep ini termasuk kontribusi terpenting ilmu ekonomi; hal ini merupakan hasil pencapaian revolusi bisu yang dahsyat dalam perkembangan ilmu tersebut, yakni tentang teori subyektivitas nilai.

Selama ribuan tahun lamanya manusia terperangkap pada konsep  bahwa pertukaran sukarela adalah perkara zero-sum, atau aktivitas yang niscaya menguntungkan satu pihak di atas kerugian pihak lain. Pandangan merkantilistik, yang pernah populer di abad-abad imperialisme dan kembali menyeruak dalam bentuk lain di jaman kita hidup sekarang ini, persis berlandas pada pemahaman yang keliru terhadap pertukaran sukarela.

Selama ribuan tahun manusia mencoba mencari dan memahami konsep pertukaran yang adil dan obyektif.  Menurut filsuf besar Aristoteles, agar pertukaran adil dapat terjadi, dua buah barang/jasa yang dipertukarkan dalam pertukaran harus bernilai setara. Pandangan teologis pun memengaruhi dan mengukuhkan konseptuasi seperti ini.  Namun bagaimanakah dan siapakah sebenarnya yang berhak menentukan nilai intrinsik dari setiap barang atau jasa?  Bagaimana membubuhkan nilai barang/jasa, terutama barang/jasa yang tidak dapat dibagi (indivisible) secara mudah?  Bagaimana membagi secara adil, apalagi jika tidak terdapat unit moneter pembantu kalkulasi manusia?

Karl Marx, misalnya, berpendapat bahwa nilai sebuah barang/jasa berbanding lurus dengan banyaknya man hour atau waktu yang dibutuhkan seorang pekerja dalam memproduksi barang/jasanya. Pandangannya tentang nilai yang melandasi penolakannya terhadap kapitalisme dan gagasannya tentang komunisme secara sentral berpijak pada teori ini.  Teori ini bukan sesuatu yang digagasnya sendiri, melainkan dipinjamnya dari ekonom-ekonom klasik sebelumnya, termasuk Adam Smith dan David Ricardo.  Teori nilai berdasarkan tenaga kerja dan pandangan Aristotelian tidak memadai untuk dijadikan dasar bagi pemahaman proses transaksi. Hemat saya, setiap ilmuwan sosial perlu meneliti lebih jauh pergeseran makna subtil dalam konsepsi terhadap nilai dalam proses pertukaran (transaksi).

Untuk menyanggah kesahihan teori nilai Marxian, kita hanya perlu membayangkan seseorang yang menghabiskan waktu berjam-jam membuat kue dari lumpur.  Kenyataan bahwa kecil peluang baginya untuk mendapatkan seseorang lain pun yang bersedia membayarnya menunjukkan bahwa nilai bukan berasal dari sana.  Nilai, persisnya, berangkat dari valuasi subyektif masing-masing manusia.  Nilai sebuah barang dapat berbeda bagi orang yang sama dalam konteks waktu dan atau tempat yang berbeda.  Dengan kata lain, konsepsi nilai dan hakikat pertukaran yang adil atau fair tidak tertangkap secara memuaskan oleh masing-masing eksponen pemikiran di atas.

Keberatan terhadap pasar bebas

Sebagian orang menyangkal pertukaran atau pasar bebas sebab mereka menyangkal kenyataan bahwa transaksi bebas dapat terjadi.  Mereka menganggap bahwa pertukaran bebas, atau pasar yang bebas, adalah sebuah istilah yang kontradiktif dalam dirinya sendiri.  Pandangan demikian umumnya didasari pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun sepenuhnya bebas.

Keberatan terhadap transaksi bebas juga didasari pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat melepaskan diri dari “koersi” akibat  kondisi kemanusiaannya dan kondisi alam yang penuh dengan kelangkaan (scarcity).  Kelangkaan dan keterbatasan pilihan adalah prakondisi bagi manusia untuk bertindak.  Kalau ada orang yang memiliki segala-galanya, maka orang tersebut tidak akan bertindak karena ia tidak lagi perlu bertindak.  Kelangkaan dan keterbatasan juga prakondisi bagi umat manusia untuk melakukan pertukaran.  Kelangkaan ini perlu dibedakan dari koersi, atau paksaan pihak lain, sebab keduanya sama sekali konsep yang berbeda.

Keberatan terhadap pertukaran bebas juga terutama terjadi ketika kita mencampur-adukkan konsep kebebasan individu dengan kemampuan (power) manusia dalam melakukan sesuatu. Misalnya, manusia bebas saja berkeinginan untuk terbang, tetapi tetap saja ia tidak akan mampu melakukannya. Kebebasan dalam pengertian ini bukanlah suatu kemampuan, melainkan suatu prakondisi sekaligus keadaan yang ingin dituju. Dia juga sebuah virtue, dalam pengertiannya sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kemanusiaan untuk berjaya (thriving).

Yang mungkin perlu dipahami adalah bahwa konsep kebebasan dalam pertukaran adalah konsep khas yang manusiawi, yang muncul antarindividu. Maksudnya, dalam menempuh pilihan-pilihan yang dimilikinya secara terbatas, seseorang bebas memutuskan mana yang terbaik baginya, tanpa ada paksaan dari pihak lain.  Keberlangsungan kemanusiaan dan kemajuan peradaban dimungkinkan justru karena adanya konsep kebebasan dan kerjasama antarindividu, yang tidak ditemukan dalam makhluk hidup lainnya.

Penting disadari, setiap pertukaran yang terjadi tanpa paksaan selalu bersifat fair dan bahkan menguntungkan bagi kedua belah pihak pelaku pertukaran, paling tidak secara ex ante, maksudnya sebelum transaksi terjadi.  Seseorang penjual rumah tidak akan menjual rumahnya senilai x rupiah kalau harga tersebut kurang atau tidak menguntungkannya; sebaliknya, seorang calon pembeli tidak akan tergerak untuk membelinya jika x rupiah dinilainya terlalu tinggi bagi nilai rumah tersebut.

Demikian juga, menulis dan membaca artikel di jurnal ini pun termasuk peristiwa transaksi bebas tanpa paksaan siapapun.  Ketika Anda tanpa dipaksa meluangkan waktu untuk membaca artikel ini hingga detik ini, Anda digerakkan oleh keyakinan bahwa artikel ini mungkin bermanfaat bagi Anda. Demikian pula bagi saya; yang mungkin mengharapkan keuntungan psikis jika pembaca artikel ini mendapat keuntungan sesuati dengan harapan saya.  Secara eks-ante, titik awalnya adalah peristiwa win-win; tak seorangpun terpaksa melakukan pertukaran.  Secara ex-post, mungkin saja ada Anda akan kecewa; karena ternyata isi artikel ini di luar harapan saya.

Pada titik ini kita sudah dapat mengaitkan konsep kerjasama berupa pertukaran sukarela dengan kebutuhan manusia dalam berproduksi.  Manusia dapat memilih cara koersif ketimbang cara sukarela dalam memproduksi.  Namun, tidaklah sulit bagi kita untuk tiba pada kesimpulan bahwa cara koersif ternyata tidak kondusif bagi produktivitas. Sebab, siapa yang mau terus-terusan berproduksi jika hasilnya kelak dapat dijarah atau dinikmati oleh orang lain?

Dapat disimpulkan, dan ini cukup penting dihayati, bahwa cara-cara predatif dan koersif tidak dapat dianjurkan kepada semua orang oleh karena dalam jangka menengah ataupun jangka panjang, cara tersebut bukan produktif, melainkan destruktif; oleh sebab cara-cara semacam itu tidak membawa kemanusiaan kepada sustainabilitas kehidupannya. Di sini sekaligus terlihat signifikansi transaksi bebas dan pentingnya pengakuan terhadap properti.

The Labor Theory of Property

Kalau seisi bagian bumi di Timika dianggap sebagai hak milik bangsa yang lahir di sana, apakah landasannya pemikirannya? Landasan moralkah, atau landasan hukum? Siapa pula yang berhak menentukan keputusan ini? Bagaimana dengan hak para pendatang yang sudah menetap di sana selama bertahun-tahun?  Bagaimana dengan para pemilik yang telah membeli lahan mereka secara sukarela dari para penduduk setempat?

Telah dikatakan sebelumnya bahwa setiap orang berhak atas sebuah properti-baru dengan cara mempertukarkannya dengan properti yang telah dimilikinya sebelumnya.  Di jaman baheula, ketika kebanyakan dan sebagian besar properti masih belum dimiliki manusia, kepemilikan seseorang terhadapnya dianggap berlaku ketika orang tersebut mengerahkan tenaga kerjanya terhadap barang alam tersebut.

Pandangan ini dikenal pula sebagai teori properti atas dasar tenaga kerja (labor theory of property), sebagaimana digagas oleh John Locke dalam risalahnya tentang pemerintahan.

Menurut Locke, seseorang berhak atas properti yang awalnya masih berada dalam kondisi alamiah, setelah terbukti bahwa orang tersebut telah mengerahkan tenaganya terhadap properti tersebut.  Ketika seorang pendatang membuka lahan perawan dan kemudian menggarap dan memagarinya, dia dapat dianggap sebagai pemilik lahan tersebut.

Sekilas, teori ini cukup memberi dasar yang cukup kuat bagi kita untuk menerima dasar-dasar kepemilikan; tetapi, apakah pandangan ini cukup memadai?  Tidak jelas, sejauh mana atau sebesar apa labor harus dilibatkan.    Apakah, jika Anda membawa sesendok gula dan menaburi laut Jawa di atas permukaannya, apakah lautan tersebut otomatis menjadi milik Anda?

Jadi, kita dapat melihat kelemahan teori ini ataupun membayangkan kontroversi yang dapat timbul darinya.  Meski demikian, teori ini masih dipakai sebagai justifikasi yang cukup memadai bagi kepemilikan barang-barang yang divisible, dan yang belum pernah dimiliki (atau dianggap demikian) oleh orang lain.  Kalau suatu hari nanti Anda berhasil mencapai bulan dan memagari sebagian permukaannya, Anda mungkin dapat melandasi klaim kepemilikan lahan Anda di sana atas usaha tersebut.

Claim Theory of Property

Dalam hal landasan kepemilikan properti, sebagian pemikir berpegang pada pertimbangan dasar lain yang lebih kuat daripada berdasarkan tenaga kerja.  Salah satu landasannya adalah klaim.  Ketika seseorang menyatakan klaim-nya terhadap sebuah properti dan dapat membuktikan kesahihan klaimnya, maka itu dianggap sebagai bukti kepemilikan yang lebih kuat daripada klaim berdasarkan tenaga kerja. Oleh karena itu pengklaiman ini membutuhkan adanya semacam bukti atau saksi.

Sesungguhnya penegasan kepemilikan berdasarkan klaim bukanlah hasil temuan eksklusif bangsa modern, karena penegasan semacam ini sudah dilakukan bangsa-bangsa besar bahkan sebelum bangsa Romawi melakukannya.  Mereka memberi batasan lahan dan meneguhkan bukti kepemilikan dengan membangun patung-patung keramat di sekitar properti mereka.

Kepemilikan berdasarkan klaim inilah yang umumnya berlaku saat ini. Hanya saja, dalam literatur modern, pernyataan eksplisitnya tidak sesederhana artikel ini.  Seperti dikatakan oleh seorang pakar dalam sebuah seminar, properti didefinisikan sebagai “a bundle of rights”, apapun itu artinya.

Dua teori tentang dasar kepemilikan properti di atas kiranya cukup untuk sekadar mengayakan dasar-dasar pemahaman kita terhadap properti.  Meski teori-teori ini klasik, jangan disangka dia tidak lagi memiliki relevansinya saat ini, di era pasca modern.

Jika Anda kebetulan tinggal di Australia, misalnya, Anda akan segera merasakan betapa konflik yang tak berkesudahan terkait properti ini ibarat onak dalam daging.

Perseteruan antara pemerintah Federal/regional dengan perwakilan suku Aborijin adalah ibarat isu abadi di negeri ini.  Untuk pertama kalinya seorang Perdana Menteri Australia menyampaikan permohonan maaf terhadap apa yang dilakukan bangsa pendatang kulit putih terhadap bangsa asli benua ini.  Setelah Sorry Day pada 2008 lalu, hingga hari ini Perdana Menteri Kevin Rudd masih mendapati tenda-tenda Kedutaan Aborijin tepat di taman di luar gedung parlemen di Canberra.

Meminta maaf atas perampasan tanah dan bahkan atas hidup ribuan orang yang terjadi ratusan tahun lalu tentu bukanlah perkara mudah.  Tetapi yang jauh lebih sulit adalah memenuhi segala konsekuensinya apabila rekonsiliasi benar-benar ingin diwujudkan secara legal,  moral dan penuh ketulusan.  Dan setiap pemerintah atau penduduk suatu Negara yang mendapatkan teritorinya melalui jalur perampasan atau pemaksaan mau tidak mau harus selalu meninjau kembali teori-teori dasar terhadap properti di atas.

Minggu depan kita akan melanjutkan pembicaraan ini dengan membahas aspek kepemilikan dan konflik dalam pemilikan bersama, atau yang sering populer disebut the tragedy of the commons.

(Bersambung Senin depan)

Kembali ke Bagian 1

15 January, 2009 at 7:45 am 2 comments

Tentang Properti dan Kepemilikan (Bag. 2)

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume II Edisi no. 63 Tanggal 5 Januari 2009
Oleh: Sukasah Syahdan

Kondisi dan Tipologi Properti

Kalau kata class dipadankan sebagai kelas, kenapa classification berpadan dengan klasifikasi dan bukan kelasifikasi? Tapi ini sih tidak nyambung. Berhubung kita maunya nyambung, properti di sini harus kita golongkan ke dalam klasifikasi, meskipun penggolongan di bawah ini hanya bersifat longgar dan umum saja.

Salah satu alasan penulisan esei ini terkait masih langkanya uraian tentang properti. Jika Anda google kata property, hampir-hampir tidak ada tulisan populer dalam bahasa ibu kita yang menjelaskan gerangan apa sebenarnya properti itu! Literatur dalam bahasa Inggris terhitung lumayan, meski jumlahnya pun amat terbatastas.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, properti bisa berada dalam kondisi atau status: dimiliki, tidak dimiliki, atau dalam konflik kepemilikan; sekarang kita mulai bisa menggolongkan properti.  Properti jenis pertama adalah properti dasar atau basic property.

Properti dasar atau properti jenis pertama yang memungkinkan manusia dan semua makhluk hidup untuk bertahan hidup adalah diri atau tubuhnya sendiri, termasuk unsur-unsur yang berasal atau terkait langsung dari/dengan tubuhnya, misalnya: energinya, waktunya, kemampuan fisiknya.  Di luar properti dasar ini, properti lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk perpanjangan/ekstensinya, sebagaimana akan ditunjukkan kelak dalam sub-topik Kepemilikan Properti.

Properti kedua adalah properti yang terdapat di alam selain diri kita, seperti misalnya udara, bumi dan seluruh isinya, yang jika seseorang memenuhi persyaratan tertentu, orang tersebut akan bisa memilikinya

Properti ketiga adalah properti hasil olahan atau buatan manusia: kendaraan, peralatan, gedung, rumah, pokoknya segala apa yang diubah oleh manusia, baik yang kasat mata maupun yang tidak.

Di samping tiga kelas dalam klasifikasi yang agak longgar di atas, orang kadang menggunakan istilah-istilah lain untuk menggolongkan properti. Misalnya ‘real property’ dan ‘real estate’, atau properti yang sudah disediakan alam berupa tanah, lahan dan apapun yang melekat padanya, dan berkombinasi dengan upaya manusia.  Istilah tersebut disandingkan dengan istilah properti pribadi (personal property atau personality), seperti barang-barang sehari-hari, yang bisa dipindah-pindah, furnitur, kendaraan, makanan, baju, dan lainnya.

Selain itu ada juga jenis properti yang khas dan menarik, yang kita sebut saja properti kontraktual, atau properti yang muncul berdasarkan pada kesepakatan. Ciri properti tersebut adalah bahwa dia tidak dimiliki oleh satu orang saja, melainkan sedikitnya oleh dua pihak.  Ciri lainnya adalah bahwa satu pihak tidak memiliki pihak lainnya ataupun sebaliknya.  Yang menjadi properti dalam properti yang kontraktual adalah persis kontrak itu sendiri, atau sesuatu yang disepakati oleh kedua pihak (atau lebih) tersebut itu sendiri.

Dalam kontrak pernikahan, umpamanya, seorang suami tidak memiliki istrinya; seorang istri pula tidak memiliki pasangannya.  Properti mereka adalah kontrak pernikahan itu sendiri.  Kalau konsep ini diterima dan diteruskan, maka bung Imam Semar tidaklah memiliki anak-anaknya, sebab anak-anaknya adalah pemilik bagi diri mereka masing-masing. Anak dalam pengertian yang rada-rada zakelijk ini bukan properti milik kedua atau salah seorang orangtuanya. Demikian pula halnya status istri rekan ini.

Properti jenis nir-wujud memiliki keunikan tersendiri. Tentang udara (oksigen), seorang Giyanto bisa bersepakat bahwa benda ini tidak termasuk properti real estate, mungkin karena indivisibilitasnya-jangankan mau dibagi-bagi atau ditandai, sebab terlihat saja tidak.  Tetapi ia dapat memiliki udara dan mengakuinya sebagai properti ketika, misalnya, Giy menyimpannya dalam tabung-tabung gas, dan dibeli oleh seorang Holmes, yang mungkin hobi menyelam, atau kolektor tabung.  Dengan kata lain, mereka harus melakukan sesuatu terhadapnya agar menjadi properti.  Ini berlaku juga bagi benda-benda nir-wujud lainnya semacam bau-bauan (parfum), bunyi-bunyian (musik),  ide-idean (gagasan; cerita; esei tentang properti, dll.), yang perlu sedikit banyak diobok kalau mereka mau memilikinya.

Kepemilikan properti

Tulisan ini mulai merangsek ke wilayah yang agak genting.  Pertanyaan-pertanyaan umum namun cukup fundamental tentang properti misalnya adalah: siapa yang dapat/atau berhak memiliki properti?

Berhak-kah, misalnya, para pebisnis Amerika atas tanah dan seisi bumi Timika? Tidakkah sebaiknya properti tersebut dimiliki penduduk asli di sana?  Dalam forum diskusi di Jurnal ini, Giyanto dan Holmes telah “duduk semeja” dalam upaya menjawabnya. Tulisan kali ini, yang agak abstrak, ingin menengarai pertanyaan semacam ini: bagaimana kita bisa menjadi pemilik yang sah atas sesuatu?

Siapa sajakah yang berhak memiliki properti?

Dari uraian tentang properti dasar, kita melihat bahwa semua orang, setiap manusia, berhak atas properti, paling tidak terkait dengan diri, tubuh atau badannya sendiri, dari bayi meski ia belum mengerti, hingga dewasa.  Anak yang diwarisi warisan oleh orangtuanya adalah pemilik sah dan moral atas properti warisan tersebut, sekalipun anak tersebut belum mengerti apa-apa tentang properti itutersebut.

Sebagian besar pemikir klasik menerima pandangan tentang adanya hak dasar tentang properti, bahwa setiap orang memiliki dirinya sendiri. Sesuai dengan tradisi pemikiran klasik ini, hanya manusialah yang memiliki hak; dan semua dan segala hak manusia pada dasarnya tidak lain adalah hak atas properti (dalam pengertian luas).

Terkait hak dasar ini, tidak seorang pun memiliki seorang lainnya.  Ini konsekuensi logis yang konsisten dengan tipologi properti di atas; dan landasan pemikiran ini mendasari penolakan atas perbudakan ataupun pembudakan seorang manusia atas manusia lainnya, sebab properti yang bersifat dasar dan primer, baik diakui atau tidak, baik diargumentasikan ataupun tidak, merupakan kondisi keberadaan yang harus terpenuhi bagi setiap makhluk yang bernyawa.

Dewasa ini, ketika sebagian besar properti telah dimiliki manusia, kecuali sebagian besar wilayah samudra, tanah di bawah lautan, udara dan ruang angkasa, hanya ada dua cara kita dapat menjadi pemilik properti, yaitu cara sukarela melalui proses produksi termasuk invensi (penemuan) dan pewarisan, dan cara-cara paksa seperti predasi, termasuk pencurian dan penjarahan.

Di masa lalu, manusia percaya bahwa hak atas properti adalah hak suci yang hanya dimiliki oleh para raja dan keturunannya. Ini termasuk teori awal tentang properti, yang ikut didukung oleh doktrin-doktrin teologis tentang kepemilikan monarkis ini.  Oleh karena raja-raja dianggap pemilik sah dan suci atas properti tanah termasuk segenap isinya, maka apapun yang mereka lakukan terhadap subyeknya tidak mengenal salah atau benar.

Sebagaimana akan disinggung kelak, memang menguasai properti apapun sejak dulu hingga sekarang selalu mengandungi hak untuk mengontrol dan menggunakan ataupun melepaskan properti tersebut. Para raja pada perkembangan kemudian dapat memberkahi seseorang dengan hak atas kepemilikan terhadap properti tertentu, terutama atas lahan-lahan garapan.

(Bersambung)

6 January, 2009 at 8:43 am Leave a comment

Tentang Properti dan Kepemilikan (Bag. 1)

Isu sentral sosialisme, komunisme, kapitalisme, anarkisme, libertarianisme, etatisme, dirigisme, dan isme-isme lainnya berpusat pada konsep satu ini. Kemajuan peradaban bangsa-bangsa di dunia bermula dari sini; dan sebaliknya, hampir semua krisis berdarah yang menghancurkan capaian peradaban manusia, dari jaman prasejarah hingga pasca-kolonialisme, juga berawal persis dari persoalan tentangnya. Di Indonesia, berbagai konflik yang telah dan akan terus meletus di sepanjang eksistensi bangsa ini, yang kadang tampil dan dimaknai secara artifisial atau mewujud dalam konfik-konflik berparas SARA, isu-isu demokrasi/demokratisasi, atau dikotomi nasionalisme/internasionalisme, muncul tepat dari isu fundamental ini. Dengan kata lain, jika kita berhasil membenahi urusan satu ini, maka beribu bahkan berjuta konflik yang mengiringinya dapat terpecahkan dengan mudah, bahkan mungkin dengan sendirinya.

Continue Reading 29 December, 2008 at 11:14 pm 7 comments

Older Posts


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations