Mitos Seputar Investasi di Sektor Properti

3 March, 2008 at 12:02 am 11 comments

Oleh: Imam Semar*

images-from-b-h-pdotcom.jpgRekan saya bertanya tentang kenapa blog ini [yang dikelolanya–peny.] dinamakan “Ekonomi Orang Waras dan Investasi”. Jawabnya sederhana saja. Pada dasarnya di blog ini, persoalan dilihat dengan objektif. Asumsi dasar harus diuji. Penyusunan kesimpulan harus runut, tidak ada lompatan logika (logical leap) dan berdasarkan reaIitas. Contoh saya suka untuk kesimpulan yang tidak runut adalah dalih untuk memilih sistem demokrasi.

Dalil dasar: “Power tends to corrupt
Maka: “Distribute the power to people

Di mata orang waras kalau ada dalil: “Power tends to corrupt” maka konsekuensi logisnya: “more people with power, leads to more corruption”. Bukan demokrasi atau rule by mob sebagai jawaban untuk menghindari korupsi.

Cara berpikir yang runut penting sekali dalam memecahkan semua persoal hidup, dari mulai bernegara, beragama sampai ke ekonomi. Di samping runut, kesimpulan juga harus berdasar realita. Saya ingat ketika saya masih duduk di sekolah dasar. Ibu guru mengajarkan ilmu alam menerangkan topik perubahan fase.

Katanya: “Di alam ini ada 3 fase. Fase padat, cair dan gas. Bila zat padat, seperti es dipanaskan, ia akan meleleh pada temperatur tertentu. Setelah menjadi cair, jika dipanaskan akan menjadi air, zat cair. Bila dipanaskan terus, akhirnya mendidih dan menjadi uap air, zat gas.”

Waktu itu saya bantah: “Telor tidak seperti itu. Telor ayam adalah benda cair, zat cair. Bila dipanaskan menjadi padat, dan kalau dipanaskan terus akan hangus”. Tentu saja bantahan ini membuat ibu kelabakan.

Problem utama dari ibu/bapak guru adalah mereka menelan materi kurikulum dan seperti beo diucapkan kembali ketika mengajar di hadapan muridnya. Asumsinya bahwa muridnya juga akan menelan mentah-mentah tanpa melakukan cek realitas. Benda di alam ini bukan es-air-uap saja. Masih ada telor (mentah/matang), kayu, kanji, lem, gula, plastik. Ibu guru terlalu menyederhanakan masalah sehingga nampaknya mudah dicerna. Tetapi dalam realita yang sebenarnya lebih kompleks. Mungkin ibu guru harus membuat mengecualian-pengecualian. Kalau itu yang dia lakukan, maka pengecualian itu lebih banyak dari pada yang bukan pengecualian. Jadi apa itu namanya?

Kali ini kita akan membahas sesuatu yang sudah menjadi opini publik yaitu investasi properti yang katanya tidak pernah rugi. Tentu saja dengan cek realitas.

SALAHKAN ROBERT KIYOSAKI!

Properti – investasi tidak pernah rugi” kata teman saya. “Paling tidak properti atau membeli rumah tidak akan pernah rugi”. Ucapan dia mewakili opini masyarakat umum, termasuk istri saya. Opini masyarakat umum ini adalah hasil pembelajaran dari pengalaman beberapa dekade setelah kemerdekaan.

Catatan: Saya tekankan lagi kata setelah kemerdekaan. Karena antara sebelum dan sesudah kemerdekaan, ada perbedaan yang mendasar yang dilatarbelakangi oleh sistem keuangan dianut Indonesia. Di jaman penjajahan, Belanda menggunakan sistem pseudo-gold (uang sejati) [sic!–peny.]; sedang setelah kemerdekaan, pemerintah republik menggunakan sistem moneter uang fiat, atau uang yang jadi berharga karena undang-undang.

Opini tentang investasi properti ini ada benarnya dan ada salahnya. Seorang teman mengeluhkan tentang investasi di sektor properti miliknya yang jebol. Awalnya dia terinspirasi oleh buku-buku serial “Poor Dad, Rich Dad”-nya Robert Kiyosaki. Uang/asset yang bekerja untuk anda, passive income. Dia terjun dan membeli 2 apartemen untuk disewakan. Cicilannya Rp 40 juta per bulan. Dia sewakan dengan harga US$ 2000 per bulan (1 US$ = Rp 9000). Jadi pada dasarnya uang cicilan dapat dibayari oleh uang sewa apartemen, dengan tambahan sedikit. Ini berlangsung beberapa bulan. Entah karena jumlah apartemen yang terus bertambah, dan/atau ekonomi yang melambat, maka apartemennya tidak ada penyewa. Ini berlangsung cukup lama sehingga dia mengalami kesulitan untuk membayar cicilan hutangnya. Mau dijual, tidak mudah. Pasar apartemen atau properti tidak liquid. Pendek kata dia terperangkap. Akhirnya dia terbebani oleh cicilan dan biaya perawatan bulanan apartemennya. Asset yang seharusnya menghasilkan income, sekarang menjadi liability yang lengket dan tidak bisa dilepaskan. Mampuslah kau. Kenapa tidak berpikir ketika menuruti anjuran Robert Kiyosaki.

Dia tidak sendirian. Saya punya banyak teman yang memiliki satu, dua, tiga rumah ekstra yang tidak ditempati bahkan dibiarkan rusak dimakan hujan dan terik matahari karena sudah bosan mengeluarkan biaya perawatan. Kadang-kadang kalau ada uang rumah itu direnovasi yang memakan biaya yang tidak sedikit. Kalau situasi sudah seperti ini, mungkin kita harus merenungkan apakah ajaran Robert Kiyosaki itu benar. Yang pasti Robert Kiyosaki kaya karena penjualan buku dan game-nya.

Banyak teman saya yang sudah terjerumus ke dalam konsep asset yang memberikan income pasif ternyata adalah liability, menentramkan diri dengan mengatakan bahwa harga propertinya terus naik. Jadi dia masih untung. Tentu saja argumennya tidak didukung dengan analisa keekonomian, analisis cash flow.

PENYERDERHANAAN

Orang yang profesinya bukan di bidang properti atau pemula di bidang properti secara alamiah sering melakukan penyederhanaan. Asumsi yang dipakai pada saat membeli properti sederhana dan cenderung melihat “upside case” saja – atau dalam bahasa awamnya melihat untungnya saja. Misalnya, properti akan disewakan dan mencari penyewa mudah. Kenyataannya adalah sebaliknya. Demikian juga untuk menjual rumah. Jangan dikira seperti menjual emas. Tinggal pergi ke pasar dan dijual di toko emas.

Menjual/menyewakan rumah bisa mudah dan bisa susah. Saya melihat banyak rumah dengan papan penawaran “Dijual” atau “Disewakan” di depannya sampai bertahun-tahun dan tidak laku. Bahkan pengalaman mertua saya untuk menjual rumahnya di Jln. Darmawangsa X, Jakarta, tepat di sebelah Wijaya Grand Center Jakarta, perlu waktu 8 tahun. Lakunya ketika harganya diturunkan hanya 40% dari harga pasar.

Asumsi dan penyederhaan satu lagi ialah masalah depresiasi dan perawatan. Banyak pemula tidak memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan selama rumah itu kosong ketika menunggu penyewa atau pembeli. Rumah/apartemen bukan emas. Properti memerlukan perawatan. Musuh rumah bukan saja alam, cuaca, tetapi juga tangan jahil, pemulung dan penyerobot. Tanah saja perlu pagar dan penjaga supaya tidak bisa diserobot orang atau pagarnya tidak diambili pemulung. Apa lagi rumah. Jangan heran kalau anda melihat rumah kosong yang satu-per-satu bagian-bagiannya (pagar, pintu, jendela, ubin, kayu-kayunya) hilang. Jangan heran juga kalau rumah itu ditempati pemulung, yang kalau diusir akan minta uang pesangon.

Andaikata perencanaan perawatan dan penjagaan sudah ada, perlu dipikirkan biaya perbaikan besar secara berkala. Rumah adalah asset yang terdepresiasi. Kayu-kayunya, catnya, besi pagarnya bisa menua/rusak dimakan umur. Oleh sebab itu perlu perawatan besar secara berkala (5 tahun sekali misalnya).

Tantangan akan ada sebelum menjual properti milik anda, jika anda mengupah seorang penjaga, harus dipikirkan bagaimana mem-PHK-nya ketika rumah itu terjual. Jadi banyak faktor yang harus diperhitungkan. Oeh sebab itu sebelum anda memutuskan untuk memiliki rumah ke II, III, dst. untuk investasi, perlu dipikirkan matang-matang.

Dan yang terakhir ialah masalah pajak, baik itu pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pajak penjualan dan pajak pendapatan. Untuk pajak penjualan, kemungkinan besar di masa datang akan lebih diintensifkan lagi oleh pemerintah, baik besarnya atau caranya (sulit lolos). Ha ini akan mengurangi keekonomian usaha properti. Ingat, pemerintah hanya mau untungnya saja (menarik pajak) tetapi mereka tidak mau ikut menanggung risiko kerugian. Itulah pemerintah.

MITOS KEBUTUHAN RUMAH TERUS MENINGKAT

Setelah kita membahas unsur dalam struktur biaya yang sering dilupakan orang, kita akan melihat bahwa persepsi bahwa kebutuhan rumah selalu meningkat itu tidak selalu benar. Asumsi ini yang mendasari pandangan kenapa harga properti terus naik.

Cek realita: sejak diintensifkannya di tahun 1970an program keluarga berencana dengan semboyan “cukup dua anak, laki prempuan sama saja” berjalan sangat sukses. Saat ini kebanyakan keluarga hanya memiliki 1-2 anak saja. Pertumbuhan penduduk hanya 1%-1.3%, itupun karena umur penduduk yang cenderung lebih panjang. Anak-anak di masa depan cukup mewarisi rumah orang tuanya saja. Jadi kebutuhan rumah, tidak memperoleh dukungan dari sektor demografi. Ini berbeda dengan Malaysia, di mana mempunyai anak 4 adalah biasa dan keluarga dengan 12 masih banyak. Konsekuensi logisnya ialah kebutuhan rumah dan bangunan komersial (hotel, pasar, mall dan supermarket) di Malaysia di masa mendatang akan meningkat. Di Malaysia, demografi masih mendukung. Sedang di Indonesia tidak.

Faktor imigrasi juga tidak mendukung. Malaysia dan Thailand adalah surga bagi imigran kaya, ekspatriat yang ingin pensiun di kedua negeri ini. Mereka mempunyai program yang dikenal dengan nama grey citizen, program untuk pensiunan kaya/mampu untuk tinggal di Malaysia dan Thailand. Dan Indonesia tidak punya. Bahkan untuk memiliki properti saja, tidak terlalu mudah bagi orang asing.

Pendorong kebutuhan rumah hanyalah spekulasi, perpindahan penduduk dan naiknya tingkat kemakmuran. Saya meragukan naiknya tingkat kemakmuran. Memang secara nominal, pendapatan per kapita naik, tetapi secara riil tidak. Ini sering saya bahas, misalnya di artikel-artikel berseri “Kemakmuran atau Ilusi” [ini dan ini –peny.].

Dengan demikian yang tersisa adalah faktor pendorong karena spekulasi dan perpindahan penduduk, baik perpindahan secara ekonomi (dari ekonomi lebih rendah ke yang lebih tinggi) dan juga migrasi/urbanisasi. Faktor spekulasi dan perpindahan level ekonomi, biasanya hanya bermain di sektor kelas atas dan menengah. Sedang faktor urbanisasi adalah sektor terbesar dan mendominasi rumah petak dan rumah kelas bawah. Saya akan berhati-hati di sektor spekulasi. Dan tidak akan menyentuh sektor kelas bawah karena untungnya tidak sepadan dengan risikonya. Alasannya, menarik uang dari orang miskin susah.

KRITERIA UNTUNG RUGI

Ungkapan bahwa investasi di properti adalah tidak pernah rugi bisa salah dan bisa benar. Ada benarnya kalau tolok ukurnya uang rupiah. Dan salah kalau tolok ukurnya emas, uang sejati. Kalau tolok ukurnya uang rupiah, maka uang rupiah itu harus dinormalisasikan, dikoreksi dengan pertambahan uang yang beredar. Perlu diketahui bahwa sejak Hindia Belanda menjadi Republik Indonesia, pemerintah mencetak uang dengan seenak udelnya saja. Kalau ada pejabat pemerintah menyangkal hal ini, maka tanyakan: “Di awal tahun 70an, uang pecahan terbesar adalah Rp 5000. Kenapa sekarang, tahun 2007, ada pecahan Rp 100,000? Kenapa sebelum krismon 1998 tidak ada pecahan Rp 100,000, dan sekarang ada?”

Oleh sebab itu, kriteria untung – capital gain dan cash flow – harus diukur dengan uang sejati (emas) atau dengan normalisasi. Cara normalisasi mungkin cara yang paling fair, jika data pemerintah benar. Cara ini bisa dilakukan dengan cara membandingkan jumlah uang yang beredar pada saat membeli rumah sebagai basis. Misalnya, rumah dibeli pada bulan Januari 2006 dengan harga Rp 300 juta. Jumlah rupiah M2 yang beredar adalah Rp 1200 triliun. Kalau harga rumah yang sama pada akhir tahun 2007 menjadi Rp 350 juta, maka secara nominal ada gross capital gain sebesar Rp 50 juta. Tetapi harga ini harus dinormalisasikan dengan jumlah uang (M2) yang beredar pada saat itu, yaitu Rp 1420 triliun.

Jadi harga yang telah dinormalisasi adalah : 1420/1200 * 300 juta = Rp 355 juta.

Dengan demikian harga Rp 350 juta secara nominal memberikan gross capital gain sebesar Rp 50 juta, ternyata secara riil, malah rugi Rp 5 juta (uang 2006), karena nilai rupiah telah merosot. Ini tidak termasuk kerugian akibat pajak penjualan dan ongkos perawatan selama 2 tahun.

Catatan: Data tentang uang yang beredar bisa dilihat di situs Bank Indonesia.

PERENCANAAN

Pertama yang harus dilakukan untuk memulai masuk di investasi properti adalah membuat cash flow-nya. Banyak orang lupa memperhitungkan unsur biaya. Di bawah ini adalah beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan dan diperhitungkan untuk memulai properti sebagai wahana investasi.

A. Faktor pada saat memulai
1. Harga rumah
2. Pajak penjualan/pembelian
3. Biaya agen
4. Perbaikan “face-lift” untuk rumah supaya menarik

B. Faktor pada saat berjalan
5. Biaya perawatan/operasi bulanan (termasuk penjaga kalau diperlukan)
6. Depresiasi – biaya renovasi berkala
7. Harga Sewa Rumah
8. Pajak PBB

C. Faktor ketika Exit
9. Kerugian maksimum yang bisa diterima ketika mau “jual cepat” – cut loss
10. Biaya agen
11. Biaya lain (PHK penjaga)
12. Pajak penjualan

Dalam kaitannya dengan exit, harus dipertimbangkan kriteria apa saja yang bisa memicu exit, seperti cut-loss, profit taking atau kondisi ekonomi.

D. Parameter ekonomi lainnya
13. Tingkat suku bunga pinjaman
14. Laju inflasi riil (laju pertambahan uang yang beredar)

Usaha tidak selalu mengikuti skenario yang diinginkan. Kita menginginkan adanya penyewa, ternyata sampai berbulan-bulan rumah tetap kosong. Mau dijual, sudah ditawarkan bertahun-tahun ternyata belum ada penawar. Dan sampai batas tertentu akan memicu kriteria cut-loss dan terpaksa harus keluar dari bisnis. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan beberapa kasus. Misalnya:

a. Kasus terburuk, tidak ada penyewa. Kasus ini digunakan untuk menilai seberapa jauh kemampuan kita memikul kerugian. Harus dipertimbangkan bahwa anda harus memikul beban ini paling tidak 3-5 tahun sejak anda memutuskan keluar dari bisnis properti. Artinya, walaupun rumah yang anda miliki sudah dipasarkan untuk dijual, jangan harap bisa terjual dengan cepat. Belum tentu dalam waktu 3-5 tahun bisa terjual dengan “harga pasar”, kecuali anda mau menjualnya 50% di bawah “harga pasar”.

b. Kasus sukses, yaitu jika anda bisa menyewakan rumah itu. Kalau nantinya skenario ini bisa terwujudkan maka anda bisa memperoleh tambahan keuntungan dari uang sewa.

Kalau sebagai pemula yang belum pernah berkecimpung di bisnis properti, ada baiknya kasus terburuk diambil sebagai kasus dasar. Karena banyak liku-liku bisnis ini yang perlu dipelajari dan biasanya hanya lewat pengalaman. Kesalahan utama bagi pemula ialah hanya melihat kasus sukses dan kasus sukses ini dijadikan acuan untuk masuk ke bisnis. Akibatnya mereka tidak siap menghadapi kegagalan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan skenario awal. Kemudian keputusan yang diambil salah. Inilah pentingnya exit strategy, baik itu sebagai cut-loss atau profit taking atau menghindari risiko yang lebih besar.

Jika untuk kasus terburuk ini sudah menjanjikan keuntungan, artinya projek anda termasuk yang mantab dan tahan banting.

KAPAN MEMBELI DAN KAPAN MENJUAL

Saya berpikiran sederhana dan secara pribadi adalah seorang swing trader. Maksudnya membeli pada saat ekonomi sedang di bawah dan menjelang kebangkitan, akhir resesi, akhir krisis dimana pada masa ini harga sedang jatuh. Tentu saja membelinya dari pasar sekunder karena developer mungkin belum banyak yang aktif. Dan saat menjual properti adalah ketika ekonomi sedang booming, dimana harga sedang baik. Saya tidak akan menunggu sampai akhir dari boom, karena pada saat itu akan banyak developer mempunyai stok yang berlebih. Bersaing dengan developer bukan hal yang mudah. Karena volume developer besar, mereka sanggup mengiklankan secara besar-besaran dan juga mempunyai kerja sama dengan bank untuk mengambil kredit.

realestateindesjapang.gif

Pada saat resesi, krisis, harga rumah riil biasanya turun, baik krisisnya itu jenis deflasi dan inflasi. Dalam kasus krisis jenis inflasi, harga nominal properti bisa tidak turun, tetapi harga riilnya turun. Tetapi untuk kasus krisis jenis deflasi seperti yang dialami Jepang, harga nominal rumah turun sampai 80% selama 16 tahun. Sedangkan pada masa krisis moneter Asia tahun 1998 – 2000, rupiah terdepresiasi sebesar 80%, inflasi bulanan Indonesia bisa mencapai 80%, sedangkan harga rumah tidak bisa mengimbangi inflasi dan turunnya nilai rupiah, karena masa itu adalah masa krisis. Orang hanya memikirkan kebutuhan primer saja. Harga rumah hanya naik 100%-200%, tidak seperti emas yang naik 500% dari Rp 20,000 menjadi Rp 100,000 per gram. Oleh sebab itu, memulai bisnis properti pada awal krisis atau di tengah-tengah krisis adalah merugikan. Sebaiknya memulai di akhir krisis. (Catatan: krisis bisa berlangsung lama, belasan tahun seperti kasusnya Jepang yang sejak tahun 1990 mengalami deflasi selama 17 tahun. Dan selama itu juga harga rumah turun).

Investasi di sektor properti bisa menguntungkan di lingkungan ekonomi dengan tingkat inflasi tinggi, asalkan jangan krisis. Apakah itu stagflasi ataupun crack up boom, pada periode ekonomi semacam ini memiliki properti sangat menguntungkan, lebih-lebih kalau bisa memperoleh kredit dengan bunga tetap. (Crack up boom ialah periode di mana kepercayaan terhadap uang fiat turun di akhir fase inflasif dan orang mencari asset keras untuk mempertahankan nilai assetnya). Perlu ditekankan bahwa kunci yang membuat investasi ini menguntungkan adalah kredit dengan bunga tetap. Pada saat inflasi (pertumbuhan uang yang beredar) meningkat, kalau bunga kredit bisa dikunci di level tertentu sehingga tingkat inflasi lebih tinggi dari bunga cicilan itu sendiri, maka skenario ini bisa sangat menguntungkan. Artinya anda bisa meminjam untuk membeli rumah dan mengembalikan hutang itu pada saat nilai riilnya jatuh. Saya tidak tahu, apakah saat ini masih bisa memperoleh kredit dengan bunga tetap. Bank sekarang lebih pandai dan berhati-hati dalam soal bunga.

Di bawah ini ada bagan pertumbuhan uang M2. Pada periode 1985 – 1997 memiliki properti cukup menguntungkan jika suku bunga KPR hanya 15% yang tetap dan memperoleh rumahnya dengan cara mengambil alih-kredit (atau beli rumah dari pasar sekunder). Tingkat inflasi antara 20%-30%.

supply-m2.jpg

Periode 1998 – 2000 kenaikan harga rumah tidak bisa mengimbangi tingkat inflasi, sehingga harga riil rumah turun. Dan mulai merangkak naik sejak tahun 2002 – 2003 di mana banyak developer mulai bangkit. Antara 2003 – 2005 pasar properti sangat likuid dan banyak spekulan yang bermain. Hanya dengan bermodalkan down-payment, seorang spekulan “membeli” properti, kemudian menjualnya lagi dengan cepat dengan keuntungan 5% dari harga rumah atau 50% dari down-payment-nya. Sekitar tahun 2006 likuiditas ini mulai menyurut ketika suplai rumah meningkat dan untuk menjual makin sulit. Itu akan menjawab pertanyaan apakah sekarang saatnya untuk membeli.

Banyaknya advertensi di koran, tv, spanduk-spanduk serta pameran-pameran menunjukkan bahwa pasar properti sudah pada fase bubble. Sejak tahun 2003, kenaikan harga rumah sudah membumbung 2-4 kali lipat. Entah kapan bubble ini akan meletus. Saya akan menunggu. Saya yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan secara nominal dan harga di atas kertas dari harga rumah tidak akan turun, tetapi harga riil – terhadap emas – akan turun.

CATATAN AKHIR

Saya bukan seorang yang berpengalaman dalam bidang investasi properti. Tulisan di atas hanyalah pemikiran saya semata seandainya saya mau masuk di investasi properti. Dasarnya pemikiran itu tentu saja pengalaman. Bukan pengalaman saya sendiri tetapi pengalaman teman-teman dan kenalan saya. Selama konsep itu disusun berdasarkan pemikiran yang runut dan dengan cek realitas, hasilnya akan lebih baik dari pada sekedar percaya saja, terutama percaya kepada sales person dari developer atau agen. Mereka akan mengatakan apa yang enak didengar oleh anda. Iming-imingan keuntungan dan optimisme, demi memperoleh komisi dari sales kepada anda. Sedangkan di situs Ekonomi Orang Waras dan Investasi ini setiap optimisme akan selalu dipertanyakan. Saya tidak dibayar anda. Ini berbeda dengan agen real-estate yang punya vested interest agar jualannya laku dan dia memperoleh komisi. Kalau mereka mengatakan bahwa mencari penyewa adalah mudah, apa lagi untuk apartemen. Mungkin anda perlu jalan-jalan pada sore hari di jalan Antasari Jakarta dan melihat berapa banyak gedung apartemen yang kosong. Atau anda tanya kenapa gedung Nestle di jalan T.B Simatupang, Jakarta sudah berubah fungsi, dari apartemen hunian ke perkantoran? Apa karena tidak ada penyewa sebagai apartemen? … [ ]

(Catatan: Imam Semar, pengelola blog Ekonomi Orang Waras dan Investasi dan sejumlah publikasi online lainnya, di awal tahun lalu dengan tepat memprediksikan terjadinya krisis finansial tahun ini. Tulisannya di atas dipublikasikan dengan penyuntingan minimum dari artikel asli berjudul Mitos Properti – Investasi Tak Pernah Rugi di blog tersebut, atas ijin penulisnya. Hak Cipta ada pada penulisnya. Photo source: http://www.b-h-p dotcom)

add to del.icio.us : Add to Blinkslist : add to furl : Digg it : add to ma.gnolia : Stumble It! : add to simpy : seed the vine : : : TailRank : post to facebook

Entry filed under: Edisi 19, Properti, Volume II. Tags: , , , , , , , , .

Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial (Bag. 2) Ilusi Stabilisasi (1)

11 Comments Add your own

  • 1. Eric Hundin  |  3 March, 2008 at 12:32 am

    I found your site on technorati and read a few of your other posts. Keep up the good work. I just added your RSS feed to my Google News Reader. Looking forward to reading more from you.

    Eric Hundin

    Reply
  • 2. Brigjen TNI Hasudungan  |  4 March, 2008 at 11:10 am

    Bagus sekali tulisan ini Bah! Aku jadi mikir dulu kalau mau beli rumah lagi. Aku kan tidak bisa di asrama terus.

    Reply
  • 3. didi  |  5 March, 2008 at 4:58 pm

    kpr syariah bisa dipercaya?

    Reply
  • 4. imam semar  |  6 March, 2008 at 8:33 am

    Didi: kpr syariah bisa dipercaya?

    respon IS:
    Di Quran ada 2 mata uang yang disebut yaitu dinar (al-kahfi) dan dirham (surah yusuf). Dinar adalah uang emas dan dirham adalah uang perak. Uang fiat (uang kertas, yang berharga karena dukungan undang-undang dan di bawahnya ada tulisan “alat pembayaran yang SYAH” disebut fulus dalam bahasa Arab. Kata fulus tidak dijumpai di Quran. Oleh sebab itu Quran/Islam tidak mengenal sistem uang fiat. Jadi selama transaksi dilakukan dengan uang fiat, walaupun disebut syariah, secara riil bukan syariah.

    Harga rumah tidak berubah banyak sejak tahun 1935 sampai sekarang kalau diukur dengan emas.

    Moga-moga ini bisa menjawab.

    Catatan: Uang fiat selalu dijadikan alat oleh politikus untuk mengambil kekayaan anda di tabungan. Mungkin tidak adanya kata fulus ada kaitannya dengan ketidak sukaan pengarang Quran (Allah) terhadap jalur uang fiat.

    Reply
  • 5. Giyanto  |  6 March, 2008 at 10:36 pm

    Pak Imam, Saya punya usul kalau bisa kita promosikan bersama keseluruh rakyat untuk boikot rupiah, biar para politisi itu bercermin…Biar mereka pindah profesi. Ndak cuma kerjaannya ngomong! Tapi tebakan saya paling mereka jadi pencuri…

    Reply
  • 6. Mayjen TNI Harsoyo  |  7 March, 2008 at 2:53 pm

    Anda harus buktikan dulu bahwa anda punya kiprah nyata, Bung Giyanto…

    Reply
  • 7. bangalex  |  13 April, 2008 at 9:20 pm

    kira – kira mas Imam ini termasuk goldbug ya? mungkin nggak sih harga emas nyampe 2000 usd per troy ounce ?

    Reply
  • 8. Etika  |  24 July, 2009 at 8:11 am

    Bagus sekali tulisannya… memang investasi properti bisa sangat menguntungkan, tapi sayangnya itu hanya bagi mereka yang tahu ilmunya. Karena itu ada baiknya baca tips berinvestasi properti dan 12 cara beli properti dengan modal kecil bahkan tanpa modal hanya di http://www.propertifree.com

    Terima kasih, semoga bermanfaat

    Reply
  • 9. Siwie  |  29 January, 2010 at 11:50 pm

    Gw saranin kalau membaca buku ttg investasi properti jangan langsung dipraktekan, TETAPI harus dipelajari dahulu ilmunya baru action..

    Lagipula di bukunya “Poor Dad, Rich Dad”nya Robert T. Kiyosaki kan, beliau hanya menjelaskan teori dasar dari investasi properti BELUM masuk kedalam esensi ilmu properti yang Beliau tidak jelaskan secara detail di buku tsb…

    Kalau masuk kedalam esensi ilmu properti yang sebenarnya pasti Robert T. Kiyosaki menjelaskan angka2/ rumus2 investasi properti yang masyarakat umum tidak tahu.

    Makanya loe semua jangan pada sok pinter….????

    Reply
  • 10. Siwie  |  29 January, 2010 at 11:51 pm

    Gw saranin kalau membaca buku ttg investasi properti jangan langsung dipraktekan, TETAPI harus dipelajari dahulu ilmunya baru action..

    Lagipula di bukunya “Poor Dad, Rich Dad”nya Robert T. Kiyosaki kan, beliau hanya menjelaskan teori dasar dari investasi properti BELUM masuk kedalam esensi ilmu properti yang Beliau tidak jelaskan secara detail di buku tsb…

    Kalau masuk kedalam esensi ilmu properti yang sebenarnya pasti Robert T. Kiyosaki menjelaskan angka2/ rumus2 investasi properti yang masyarakat umum tidak tahu.

    Makanya loe semua jangan pada sok pinter kalo mencoba investasi….????

    Reply
  • 11. fienso  |  19 April, 2010 at 10:28 am

    Saya sudah beli 2 rumah di citra indah atau http://citraindahciputra.com dengan KPR. Yang satu saya tempati, yang satu dikontrakkan. Dengan modal sedikit, hanya DP 5%, rumah sudah menjadi hak milik penuh Fienso. Fienso pun langsung bsia mendapatkan uang kontrak (sewa rumah). Modal langsung balik, dan keuntungan pun langsung di dean mata.
    Salam,
    Fienso

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations