Posts tagged ‘pasar bebas’

Maksim Nad #3

Jika tujuan ultimat kehidupan manusia di dunia kita supersederhanakan dan namakan sebagai End (E) dan cara manusia dalam mewujudkannya disebut Means (M), maka ternyatalah betapa dahsyatnya perkara M dan E ini, sebab dia melibatkan kehidupan semua orang di muka bumi….

Continue Reading 17 November, 2008 at 4:13 pm 1 comment

Kebebasan, Conditio Sine Quanon Moralitas

Mana yang moral mana yang tidak di masyarakat dapat menjadi sesuatu yang bergerak, dapat menjadi dinamis, tidak selalu statis. Steven Pinker saat menulis tentang hal ini menyinggung tentang tombol moralitas dalam diri manusia. Katanya kalau tombol ini sedang aktif, maka seluruh sistem penilaian rasional kita diambilalih secara drastis. Pertanyaan yang tidak ia jawab adalah: can we reason with morality?

Tulisan ini menjawab: ya. Tidak terlalu sulit membayangkan bahwa apa yang moral tidak jarang berlandas pada sesuatu yang rasional, ilmiah bahkan. Dalam contoh Pinker, isu merokok yang kini dianggap terbuktikan berbahaya juga bagi orang lain, kini cenderung berubah dari isu kesehatan menjadi moral. Atau pelacur cenderung mendapat “pemaafan” kolektif ketika eufimisme “pekerja seksual” diperkenalkan. Tombol moralitas yang disebutnya tidak lain seperangkat alat, kalau boleh disebut demikian, atau semacam shortcut yang telah kita ketahui, lewat pembelajaran/pengalaman, sebagai means dalam menentukan tujuan tertentu, untuk digunakan pada suatu titik waktu tertentu dan dalam konteks dan latar yang tertentu.

Continue Reading 26 May, 2008 at 2:54 am 12 comments

Pasar Bebas dan Darwinisme Sosial

Oleh: Sukasah Syahdan
Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Vol. II, Edisi 28, Tanggal 05 Mei 2008

Ada 2 hal penting yang saya rasa perlu diulas tentang pasar bebas. Keduanya terkait erat dengan beberapa keping artikel yang pernah diterbitkan di Jurnal ini (misalnya ini dan ini).

Yang pertama adalah tentang kekuatiran sebagian orang tentang berlakunya hukum rimba, yang sepertinya lengket melekat dalam imajinasi kita tentang pasar bebas. Hal kedua dan tidak kalah pentingnya adalah paranioa akan mitos kegagalan pasar.

Tulisan ini hanya berfokus pada isu pertama, yaitu tentang kekuatiran mengenai kekacauan, berlakunya hukum rimba, di mana yang besar akan memakan yang kecil, si kuat menindas si lemah, dan yang semacam itu. (Tentang kegagalan pasar sebagai mitos dapatlah kami sajikan kemudian dalam edisi-edisi mendatang.)

Mari langsung ke hutan rimba. Pandangan sejumlah orang yang pakar dan yang awam tentang berlakunya hukum rimba di pasar bebas di mana yang kuat menggontok yang lemah dan si kaya memerah si miskin timbul akibat misinterpretasi terhadap tilikan ilmu alam. Misinterpretasi ini adalah aplikasi pragmatis yang keliru (ke ranah sosial) dari teori biologi tentang evolusi dan seleksi alam, yang digagas seorang ilmuwan Inggris, Charles Darwin. Aplikasinya di bidang sosial ini sering disebut sebagai Darwinisme Sosial. Dengan penerapannya, pihak yang “nekad” mengadvokasikan pasar bebas tidak jarang diberikan label gratis, yaitu sebagai Darwinis sosial.

Benar dan patutkah demikian?

alt textFoto Charles Darwin (aucklandmuseum.com)

Kesimpulan penting yang ingin dicapai lewat penulisan ini langsung saja saya suguhkan, yaitu bahwa: retorika tentang Darwinisme sosial di dalam pasar bebas adalah isapan jempol belaka. Lebih dari itu, bukan sekadar keliru, pandangan tersebut justru bertolak seratusdelapanpuluhderajat dengan kenyataan sesungguhnya.

Jika di rimba raya berlaku hukum “survival of the fittest”, maka pasar bebas justru akan membuat semakin banyak orang “fit”.

Bagi sebagian pembaca, kesimpulan di atas mungkin cukup mengejutkan. Persis yang mau saya lakukan sekarang adalah sekadar menyatakan kembali darimana datangnya kesimpulan di atas. Kesimpulan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru ataupun orisinil. Cukup banyak pemikir terdahulu yang telah menuliskannya dalam sejumlah literatur. Yang terutama saya rujuk di sini adalah buku Mises (Human Action, hal. 169-176); Rothbard (Power and Market); makalah George Reisman (Some Fundamental Insights into the Benevolent Nature of Capitalism). Belum terlalu lama berselang, seorang profesor ekonomi di Universitas Pepperdine, Gary Galles, juga mempermudah tugas saya kali ini dengan satu artikelnya yang merangkum pandangan ketiga tokoh di atas. Saya memutuskan tidak perlu menciptakan kembali roda argumentasi di artikel ini.

Seperti dinyatakan Galles, kekeliruan yang paling jelas dari pandangan terhadap mekanisme pasar sebagai medan “survival of the fittest” adalah bahwa bahkan di dalam pasar-pasar yang selama ini telah terkendala oleh berbagai peraturan dan perpajakan dll. sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini, semakin banyak orang yang berhasil diselamatkan!

Kemakmuran dan teknologi yang tercipta lewat kapitalisme menunjukkan bahwa manfaatnya tidak cuma terbatas bagi yang paling fit saja. Meski terkendala luar biasa oleh intervensi pemerintah, kapitalisme tidak tertandingi dalam hal penyediaan berbagai barang dan jasa dalam skala massal dan harga yang lebih murah bagi semua orang. Semakin terbebas pasar dari kendala, semakin besar dia memproduksi-dan tanpa mencederai kebebasan atau merampas hak dari satupun individu! Bandingkan ini dengan cara menyubsidi si Budi dengan merampok si Badu. (Seperti pernah diucapkan seseorang, mudah sekali menjadi terkesan melakukan hal moral, apalagi dengan mengambil sumberdaya orang lain!)

Kapitalisme memperkaya siapa saja yang berani menjadi produktif. Sistem ini telah menyelamatkan nyawa miliaran orang yang barangkali tidak akan dapat bertahan hidup tanpanya. Pada kenyataannya kapitalisme memberi semua orang-yang paling lemah sekalipun, kesempatan terbaik bukan cuma untuk sekadar selamat, tetapi juga untuk berjaya. (Tentu ini bisa disetujui: siapa saja yang kaya tapi sembrono hari ini dapat jatuh miskin besok pagi; sebaliknya, siapa yang miskin saat ini, tidak tertutup kemungkinannya untuk menjadi sukses.) Salah satu petunjuk terhadap hal ini adalah semakin meningkatkanya waktu luang yang telah terjadi seiring dengan meningkatnya pasar. Bill Gates, yang tidak selesai sekolah, berhasil muncul menjadi orang terkaya di dunia, dan akan memberi ceramahnya Jumat ini di Balai Sidang. Yayasannya, yang mulai menjadi kekuatan sosial yang patut diperhitungkan dalam menolong kaum papa di dunia, mungkinkah terjadi dalam konteks hukum rimba?

Sebab di alam perjuangan yang Darwinian, satu orang diasumsikan memandang yang lain sebagai lawan atau musuhnya. Sebaliknya, di pasar bebas, bahkan seseorang yang berpotensi menjadi tiran bengis sekalipun tetap harus tunduk dan memusatkan usahanya dengan menawarkan nilai kepada konsumen, lewat cara damai transaksi tanpa paksaan. Satu kesimpulan yang saya nilai jenial dari Galles: pasar bebas bahkan menyalurkan dorongan kekuasaan menjadi pemberian layanan (service)!

Tentunya kita tertarik pada pemikiran yang benar atau setidaknya berdasar. Maka, akal kita menuntut jawaban atas pertanyaan ini: apa dasar bagi semua ini?

Landasannya adalah hak kepemilikan oleh individu-individu. Pengakuan terhadapnya adalah pencegah meletusnya perang di hukum rimba. Hukum kepemilikan mencegah invasi fisik terhadap segala nyawa, terhadap semua kebebasan, dan terhadap apapun hak milik seseorang kecuali jika orang tersebut memperkenankan terjadinya hal tersebut. Dengan tercegahnya invasi-invasi semacam itu, hak kepemilikan individu menjadi benteng pertahanan terhadap agresi yang memang amat mungkin dilakukan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Hak kepemilikan mencegah perekayasaan kebenaran di atas kekuatan.

Kompetisi bisnis adalah faktor lain yang amat krusial tapi sering gagal kita pahami. Pandangan kita tentang faktor yang satu ini sarat dengan berbagai mitos-lihat mis. monopoli, keserakahan pengusaha, dll. Padahal tidak sulit melihat bagaimana persaingan adalah cara jaminan alamiah yang inheren. Tidak boleh dilupakan bahwa pengusaha yang sukses memperluas “kekuasaannya” adalah dia yang paling banyak dilanggani “konstituennya” oleh karena produktivitas atau nilai tambah yang dirasakan nyata. Kompetisi secara bebas berarti bahwa hanya dia yang dapat memberi nilai tambah kepada konsumenlah yang akan menawan hati konsumen. Soal produksi dan konsumsi, pada analisis terakhir hanya berpulang kepada konsumen. Persaingan usahalah yang memungkinkan semakin banyak orang, misalnya, dapat membaca tulisan online ini dengan biaya yang semakin terjangkau.

Andai saja kita menangkap inti filsafat kerjasama dari David Ricardo (lihat artikel terkait di Jurnal ini), tentu semua paparan ini akan menjadi sesuatu yang lewah/mubazir (redundant). Sebab berabad lalu ekonom ini telah memperlihatkan betapa lebih superiornya kerjasama sosial dan sistem pembagian kerja antarmanusia itu-bahkan di antara mereka yang lebih unggul di segala bidang dari mereka yang lebih lemah–dalam mencapai kesejahteraan bersama ketimbang cara-cara agresi dan koersif. Justru melalui kerjasama dalam kedamaian pasarlah semua pihak memeroleh keuntungan melalui perkembangan sistem pembagian kerja dan investasi modal.

Kata Rothbard (dalam PM, hal. 1325), pihak-pihak yang menyamaratakan penerapan konsep “survival of the fittest” di medan hutan rimba dan di medan pasar justru melupakan satu pertanyaan yang paling mendasar: Fitness for what? Fit untuk apa?

Mereka yang disebut “fit” di hutan rimba adalah binatang-binatang yang paling mahir menggunakan kekuatan/paksaan. Sedangkan dalam konteks pasar? Adalah mereka yang paling piawai dalam melayani masyarakat. Hutan rimba adalah tempat yang keras tiada ampun di mana yang satu merampas dari yang lain, sementara yang lemah dan kebetulan masih hidup akan hidup dalam tingkat setara kelaparan.

Pasar adalah tempat damai yang produktif di mana para pelakunya melayani diri masing-masing, bertindak demi keuntungan sendiri-sendiri, di dalam suatu proses suka rela yang pada akhirnya, mau tidak mau, disadari maupun tidak, membuat kita saling melayani satu sama lain secara bersamaan dan hidup dalam tingkat konsumsi yang semakin meningkat. [ ]

5 May, 2008 at 3:10 am 17 comments

Older Posts


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations