Posts tagged ‘Anti-kapitalisme’

Mentalitas Anti-Kapitalistik (Bagian 11 – Tamat)

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak
Volume II Edisi 49, Tanggal 29 September 2008
Oleh: Ludwig von Mises
Alihbahasa: Nad

( Bagian 11 – Tamat)

BAB V

“ANTIKOMUNISME” VS. KAPITALISME

Di manapun di alam semesta ini tidak ada stabilitas dan tidak pernah tercipta immobilitas. Perubahan dan transformasi adalah ciri-ciri esensial kehidupan. Setiap duduknya perkara adalah kefanaan.  Setiap abad adalah masa transisi. Hidup manusia tidak pernah sepenuhnya tenang dan diam. Kehidupan adalah proses, bukan status quo yang bertahan. Namun, benak manusia selalu didera ilusi akan citra tentang keberadaan yang tidak bisa diubah. Hasrat yang diyakini semua gerakan utopia adalah mengakhiri sejarah dan membangun keadaan yang damai, final dan permanen.

Alasan-alasan psikologis bagi kecenderungan semacam ini, jelas.  Setiap perubahan mengubah kondisi eksternal kehidupan dan kesejahteraan serta memaksa orang untuk menyesuaikan diri kembali dengan jalan mengubah lingkungannya. Hal tersebut mengganggu kepentingan-kepentingan  tertentu dan mengancam cara-cara tradisional dalam berproduksi dan mengonsumsi. Hal tersebut cenderung menyebalkan bagi mereka yang secara intelektual malas, atau yang segan memperbaiki modus berpikirnya. Konservatisme itu bertentangan dengan sifat-sifat tindakan manusia. Namun, sebagai program, konservatisme selalu digandrungi banyak pihak, terutama oleh para pemalas yang dengan dungu memilih bertahan ketimbang berupaya meningkatkan kondisi mereka, sementara segelintir minoritas yang lebih waspada  telah memulainya. Sambil mengenakan istilah reaksioner, kebanyakan orang  mengacu hanya kepada kaum aristokrat dan pendeta yang menyebut partai mereka, partai konservatif. Akan tetapi, contoh-contoh dari semangat reaksioner ini justru diperlihatkan oleh kelompok-kelompok lain: seperti serikat pekerja seni yang menghalangi jalan masuk bagi pendatang baru; oleh para petani yang meminta perlindungan tarif, subsidi dan “harga paritas”; oleh para penerima upah yang memusuhi kemajuan teknologi dan menghendaki agar perusahaan mempekerjakan lebih banyak buruh daripada seharusnya, atau praktik-praktik semacam itu.

Arogansi menyebabkan kaum literati dan seniman Bohemian mencemooh aktivitas para pengusaha sebagai kegiatan yang non-intelek dan melulu soal uang. Namun, sesungguhnya para pengusaha dan para pendukung mereka justru memperlihatkan daya intelektual dan intuisi yang lebih besar ketimbang yang dimiliki kebanyakan penulis dan pelukis. Inferioritas sejumlah besar pihak yang mengaku diri sebagai intelektual terlihat dalam kenyataan bahwa mereka tidak menyadari kapasitas dan daya pikir seperti apa yang dibutuhkan untuk dapat mengoperasikan perusahaan bisnis dengan baik.

Munculnya begitu banyak kelas intelektual berpikiran dangkal semacam itu merupakan salah satu fenomena yang paling tidak dikehendaki di jaman kapitalisme modern.  Mereka secara nyata melakukan agitasi agar menjauhkan orang-orang yang kritis.  Mereka menjadi gangguan. Seandainya tindakan-tindakan tertentu ditempuh guna mengurangi agitasi mereka, atau bahkan lebih bagus lagi, untuk menghapuskan sepenuhnya klik-klik yang mereka lakukan dengan kalangan-sejawat mereka, maka tidak ada orang yang akan merasa dirugikan.

Namun, kebebasan tidak dapat dibelah-belah. Setiap upaya untuk membatasi kebebasan kaum literati yang mengganggu serta seniman-gadungan yang dekaden ini akan menyelundupkan kekuasaan otoritas untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.  Hal itu akan menyosialisasikan upaya intelektual dan artistik. Dapat dipertanyakan apakah tindakan tersebut akan dapat menyisihkan orang-orang yang tak berguna dan yang mengganggu; namun, pastinya cara semacam itu akan menjadi menciptakan rintangan yang besar bagi para jenius yang kreatif.  Para penguasa tidak menyukai gagasan baru, cara berpikir baru dan gaya seni baru. Mereka menentang segala macam inovasi. Supremasi mereka memunculkan penyeragaman yang ketat  dan menghasilkan stagnasi serta kebusukan.

Korupsi moral, imoralitas dan sterilitas intelektual sekelompok calon-calon pengarang dan seniman cabul adalah harga tebusan yang harus dibayarkan oleh kemanusiaan agar para pionir yang kreatif dapat menghasilkan karya-karya mereka.  Kebebasan harus diberikan bagi semua, bahkan termasuk orang-orang yang rendah sekalipun, agar segelintir orang yang dapat memanfaatkannya demi kemaslahatan manusia, tidak terkendala. Lisensi yang dinikmati oleh para tokoh compang-camping dalam quartier Latin adalah kondisi yang memungkinkan munculnya sejumlah penulis, pelukis dan pematung yang besar.  Hal pertama yang dibutuhkan seorang jenius adalah menghirup udara kebebasan.

Pada akhirnya, bukanlah urakan Bohemian yang menimbulkan malapetaka, melainkan kenyataan bahwa masyarakat memang siap menerima mereka dengan senang hati. Tanggapan terhadap filsafat gadungan di pihak juru-cetak opini masyarakat itulah–dan kelak di pihak rakyat yang tersesatkan–yang merupakan biang keburukannya. Masyarakat siap mendukung ajaran-ajaran yang dianggapnya modis agar mereka tidak tampak bodoh dan terbelakang.

Ideologi yang paling merusak dalam enam puluh tahun terakhir adalah sindikalisme Sorel dan antusiasmenya terhadap action directe. Dihasilkan oleh seorang intelektual Prancis yang frustrasi, ideologi ini langsung menawan hati kebanyakan literati di negara-negara Eropa. Ideologi ini merupakan faktor utama dalam radikalisasi semua gerakan subversif. Paham ini memengaruhi royalisme, militarisme dan anti-Semitisme Prancis. Dia memainkan peran yang penting dalam evolusi Bolshevisme Rusia, Fasisme Italia dan Jerman,  serta gerakan pemuda-pemuda Jerman yang akhirnya membentuk Nazisme. Paham ini mentransformasikan partai-partai politik yang bernafsu meraih kemenangan melalui kampanye pemilu ke dalam fraksi-fraksi yang mengandalkan pengorganisasian kelompok-kelompok bersenjata.  Ideologi ini mendiskreditkan pemerintahan representatif dan “kehidupan nyaman para borjuis”,  melalui kotbah-kotbahnya tentang perang saudara maupun perang dengan negara-negara lain. Slogan utamanya adalah: kekerasan dan kekerasan. Kondisi Eropa saat ini dalam tingkat tertentu adalah akibat dari prevalensi ajaran-ajaran Sorel tersebut.

Dan intelektual-lah yang pertama menerima gagasan-gagasan Sorel dan membantu memopulerkannya.  Akan tetapi tujuan Sorelisme jelas: antiintelektual. Ia menentang dilakukannya dialog dengan kepala dingin atau musyawarah yang waras. Yang penting bagi Sorel hanyalah adalah aksi, yaitu tindakan kekerasan demi kekerasan itu sendiri. Bertempur untuk mitos,  terlepas apapun makna mitos tersebut, adalah nasehatnya. “Jika Anda menempatkan diri di arena mitos-mitos tersebut, maka Anda sendirilah adalah saksi bagi setiap upaya refutasi yang kritis.”[1] Filsafat ini sungguh bukan main. Ajarannya adalah menghancurkan demi kehancuran semata!  Tak perlu bicara; tak perlu memakai akal; bunuh saja! Sorel menolak “upaya intelektual” bahkan terhadap para ahli sastra penyuara revolusi. Pada hakikatnya, mitos tersebut bertujuan “menyiapkan orang untuk berjuang untuk menghancurkan segala yang ada.”[2]

Namun, kesalahan atas merebaknya filsafat gadungan yang dianut kelompok destruksionis ini bukan terletak pada Sorel ataupun para pengikutnya, semacam Lenin, Mussolini dan Rosenberg; dan bukan pula terletak pada sejumlah kaum literati dan seniman yang tidak bertanggungjawab. Malapetaka ini muncul karena selama beberapa dekade  nyaris tidak ada seorangpun yang pernah mencoba menelaah secara kritis untuk membeberkan pemicu kesadaran dari para bandit yang fanatik tersebut. Bahkan para pengarang yang memberi dukungan terbatas terhadap gagasan-gagasan kekerasan yang gegabah tersebut masih tetap bersemangat melakukan interpretasi simpatik terhadap ekses-ekses terburuk yang ditimbulkan para diktator.  Keberatan awal yang malu-malu atau takut-takut hanya dapat diutarakan secara sangat terlambat, yakni ketika para intelektual selaku para cecunguk kebijakan-kebijakan tersebut mulai menyadari bahwa dukungan mereka yang antusias terhadap ideologi totalitarian ternyata tidak cukup menjamin perolehan mereka akan imunitas terhadap berbagai siksaan dan eksekusi.

Dewasa ini terdapat front antikomunis gadungan. Apa yang dituju oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai “liberal antikomunis” ini–sementara orang-orang lain yang lebih waras menyebut mereka sebagai “anti -anti-komunis”–adalah komunisme tanpa ciri-ciri melekat dan penting yang masih dirasakan kurang sedap bagi penduduk Amerika.  Mereka membuat perbedaan halus antara komunisme dan sosialisme; tetapi, dengan cukup paradoksial, mereka masih meminta dukungan agar rekomendasi mereka terhadap sosialisme non-komunis ini diterima, dari dokumen yang oleh para pengarangnya disebut The Communist Manifesto. Dengan menggunakan sebutan-sebutan lain bagi sosialisme sebagai “perencanaan” atau “negara kesejahteraan”, mereka ingin membuktikan bahwa mereka berbeda. Mereka berpura-pura menolak aspirasi revolusioner dan diktatorial kelompok “Merah” dan di saat yang sama memuji-muji (lewat buku-buku dan majalah-majalah, di sekolah-sekolah dan kampus-kampus) Karl Marx, tokoh revolusi komunis dan kediktatoran kaum proletar, sebagai seorang ekonom, filsuf dan sosiolog terbesar dan sebagai seorang pembela dan pembebas kemanusiaan kenamaan. Mereka menginginkan kita agar memercayai bahwa totalitarianisme yang non-totalitarian, yang sebenarnya ibarat bujur-sangkar bersegi tiga, adalah obat mujarab bagi segala penyakit.  Sambil melemparkan keberatan-keberatan kecil mereka terhadap komunisme, mereka jauh lebih bersemangat dalam menghujat  kapitalisme dengan istilah-istilah yang mereka ambil dari kosa kata penyerca dari Marx dan Lenin. Mereka menekankan kebencian mereka yang jauh lebih besar terhdap kapitalisme ketimbang komunisme dan menjustifikasikan tindakan-tindakan yang menjijikkan dengan mengacu kepada “horor-horor yang tak terperikan” yang diakibatkan oleh kapitalisme. Singkatnya: mereka pura-pura menentang komunisme dalam upaya mereka mengubah pandangan masyarakat agar menerima gagasan-gagasan dalam The Communist Manifesto.

Apa yang diperjuangkan oleh mereka yang mengaku “liberal anti-komunis” ini bukanlah komunisme itu sendiri, melainkan sistem komunis di mana mereka sendiri tidak duduk di dalamnya sebagai tokoh-tokoh pengendali.  Tujuan mereka adalah sistem sosialis atau komunis di mana mereka sendiri atau kerabat-kerabat terdekat mereka bercokol di pucuk-pucuk pemerintahan. Barangkali terlalu jauh untuk mengatakan bahwa mereka amat berhasrat untuk melikuidasi orang-orang lain. Mereka cuma tidak mau terlikuidasi.  Di dalam persemakmuran sosialis, hanya otokrat tertinggi dan kaki tangannyalah yang mendapatkan kepastian semacam itu.

Gerakan “anti-sesuatu” menunjukkan suatu sikap negatif yang murni. Gerakan semacam itu sedikitpun berpeluang akan sukses, sebab setiap kecaman yang paling berapi-api sekalipun pada akhirnya tetap menjadi semacam iklan bagi program yang diserangnya.  Masyarakat mesti berjuang demi sesuatu yang ingin diraih, bukan sekadar menampik sesuatu yang buruk saja, betapapun buruknya sesuatu tersebut.  Untuk itu, masyarakat mesti menyokong program perekonomian pasar, tanpa syarat apapun.

Setelah berbagai kekecewaan yang pahit akibat tindak-tanduk Soviet serta semua kegagalan eksperimen sosialis, komunisme sebenarnya hanya akan berpeluang tipis saja di Barat seandainya tidak muncul gerakan antikomunisme yang palsu ini.

Satu-satunya cara yang dapat membebaskan bangsa-bangsa beradab di Eropa Barat, Amerika dan Australia dari perbudakan dan barbarisme Moskow, adalah mendukung kapitalisme laissez-faire secara penuh dan terbuka.

(Tamat)

(Kembali ke Bagian 1)


[1] Lihat G. Sorel, Réflexions surla violence, edisi ketiga, Paris, 1912, hal. 49.

[2] Sorel, l.c., hal. 46.

© Hak Cipta 1972 oleh Ludwig von Mises. Diterbitkan pertama kali oleh D. Van Nostrand Company, Inc. pada tahun 1956.  Dicetak di Amerika Serikat oleh Libertarian Press, Inc.: 1972, 1978, 1981, 1990, 1994. ISBN: 0-910884-29-3. © Hak Cipta edisi terjemahan bahasa Indonesia, 2008 oleh Sukasah Syahdan. Versi Draft diterbitkan online di Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak, http://akaldankehendak.com.

29 September, 2008 at 12:52 am Leave a comment

Mentalitas Anti-Kapitalistik (Bagian 10)

Ini bagian kesepuluh dari 11 bagian tulisan yang direncanakan. Dijelaskan di sini prasangka sebagian orang terhadap kebebasan; hubungan kebebasan peradaban Barat; serta seberapa jauh makna kebebasan bagi negara-negara Oriental.

Continue Reading 22 September, 2008 at 4:33 pm 1 comment

Mentalitas Anti-Kapitalistik (Bagian 9)

Kritik terhadap kapitalisme dan pembelaannya di bagian ini semakin tajam dan kian menguat. Ludwig von Mises menjelaskan makna keadilan dalam konteks ekonomi secara konkrit; ia menjelaskan signifikansi modal (kapital) dalam upaya manusia untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan dan standar hidupnya. Dengan tulisan ini kita semakin mendekati bagian akhir buku ini…

Continue Reading 16 September, 2008 at 9:57 am Leave a comment

Older Posts


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations