Sosok Keynes (Bag. 1)

12 June, 2008 at 2:22 am 4 comments

| Murray Rothbard* |

John Maynard Keynes—tabiatnya, tulisan-tulisannya, dan tindak-tanduk selama hidupnya—dipengaruhi dan dipandu oleh tiga elemen yang saling berinteraksi. Elemen pertama adalah egotisme yang terlalu besar, yang membuatnya terlalu percaya diri dan merasa mampu mengatasi segala problem intelektual dengan cepat dan akurat, serta memandang rendah prinsip-prinsip umum yang dianggap merintangi limpahan egonya. Elemen kedua adalah keyakinannya yang kuat bahwa ia ditakdirkan untuk memimpin kelompok elit penguasa Inggris Raya. Kedua elemen ini mengarahkan Keynes dalam pergaulan dengan orang atau bangsa lain dari posisi dan persepsinya sendiri mengenai kekuasaan dan dominasi. Elemen ketiga adalah kebencian dan kemuakannya terhadap nilai-nilai kebajikan yang dianut kelompok borjuis—terhadap moralitas konvensional mereka, terhadap manfaat dan pentingnya menabung dan hidup hemat, dan terhadap institusi-institusi yang mendasari kehidupan berkeluarga.

KETURUNAN BANGSAWAN

keynes.jpgKeynes dilahirkan dalam lingkungan istimewa. Ia mewarisi lingkaran elit yang tidak saja menguasai Britania melainkan juga profesi ekonomi di Inggris. Ayahnya, John Neville Keynes, adalah teman dekat sekaligus mantan murid Alfred Marshall, profesor Cambridge yang selama setengah abad merupakan “singa” tanpa tandingan dalam ilmu ekonomi Inggris. Neville Keynes membuat Marshall kecewa karena telah gagal memenuhi janji keilmuwanannya. Neville hanya mampu menulis satu risalah biasa tentang metodologi ilmu ekonomi, subyek yang dipandang remeh dan tidak dianggap sebagai bagian tradisi Inggris (J. N. Keynes [1891] 1955). Bentuk pelarian klasik bagi akademisi yang gagal adalah bekerja di bagian administrasi universitas; begitulah, Neville pun akhirnya cukup senang dapat membenamkan dirinya di bagian pengawasan serta sejumlah posisi kuat lainnya di Universitas Cambridge. Secara psikis, Marshall merasa memiliki kewajiban moral terhadap Neville. Perasaannya tersebut lebih kuat daripada sekadar loyalitas murni atas sebuah persahabatan, dan hal ini kemudian diteruskan kepada anak lelaki kesayangan Neville, Maynard. Ketika Maynard akhirnya memutuskan untuk berkarir sebagai ekonom di Cambridge, dua figur yang sangat berpengaruh di universitas tersebut—yaitu ayahnya sendiri dan Alfred Marshall—lebih dari sekadar siap untuk memberi bala bantuan.

KELOMPOK RASUL CAMBRIDGE

Pendidikan terbaik bagi golongan elit Inggris pun disiapkan bagi Maynard oleh ayahnya yang sangat menyayanginya. Mula-mula, Keynes adalah siswa penerima beasiswa untuk belajar di “College” di Eton, yang merupakan sub-bagian intelektual dari sekolah negeri paling berpengaruh di Inggris. Dari sana Maynard pergi ke King’s College, yang bersama dengan Trinity merupakan dua kampus yang dominan di lingkungan Universitas Cambridge. Di King’s College, Maynard segera diterima sebagai anggota perkumpulan rahasia bernama Kelompok Rasul (The Apostles). Organisasi tersebut dengan cepat membentuk nilai-nilai dan kehidupannya. Keynes pun tumbuh dan mencapai kematangan sosial dan intelektualnya dalam kungkungan sebuah dunia kecil yang inses (incestuous), dunia yang penuh kerahasiaan dan kedigjayaan. Kelompok Rasul bukan semata-mata klub sosial semacam solidaritas rahasia Ivy League. Kelompok ini adalah kumpulan elit intelektual yang berfokus pada dirinya sendiri (self-conscious) dan memiliki minat khusus pada filsafat serta aplikasinya pada estetika dan kehidupan. Para anggotanya dipilih hampir secara eksklusif dari KC dan Trinity. Mereka bertemu setiap Sabtu sore di dalam ruangan tertutup untuk membahas dan mendiskusikan berbagai makalah.[1] Di akhir pekan, para anggota dapatlah dikatakan tinggal sekamar bersama-sama. Tambahan pula, keanggotaan Kelompok Rasul ini bukan sekadar urusan semasa mahasiswa, melainkan seumur hidup dan sangat dipentingkan. Selama hidup mereka, para anggota Kelompok Rasul dewasa, yang disebut sebagai ”Malaikat” (“Angels”), termasuk Keynes, kelak kerap kembali ke Cambridge untuk mengadakan pertemuan, dan mereka juga berpartisipasi secara aktif dalam perekrutan mahasiswa baru. Di bulan Februari 1903, pada usia dua puluh tahun, John Maynard Keynes mendapatkan posisinya sebagai Rasul nomor 243—sesuai dengan rantai ikatan yang dimulai sejak pendirian kelompok tersebut, di tahun 1820. Selama lima atau enam tahun formatif berikutnya, Maynard menghabiskan kehidupan pribadinya bersama para Rasul. Di sinilah dan begitulah nilai serta sikap mereka terbentuk. Selanjutnya, kebanyakan kehidupan dewasa mereka lalui bersama dengan para Rasul lain, baik yang lebih tua maupun lebih muda, serta dengan para sahabat atau kerabat mereka.

Alasan penting mengapa efek Kelompok Rasul terhadap para anggotanya begitu kuat adalah atmosfer kerahasiaannya yang tinggi. Penulis riwayat hidup Keynes, Robert Skidelsky, menuliskan:

Efek kerahasiaan tersebut tidak boleh dianggap enteng. Jika banyak hal di luar dunia mereka terasa asing, itu dipicu oleh bahan bakar yang sederhana ini. Kerahasiaan tersebut menjadi pengikat yang sangat mengamplifikasi kehidupan perkumpulan tersebut, relatif terhadap berbagai kepentingan lain para anggotanya. Orang akan menghabiskan waktunya dengan jauh lebih mudah bersama sekelompok tertentu jika ia tidak perlu menyimpan rahasia-rahasia besarnya; bagi mereka, menghabiskan waktu bersama-sama telah meningkatkan apapun itu yang telah menyatukan mereka sejak awal. (Skidelsky 1983: 118; lihat juga Deacon 1986)

Keangkuhan luar biasa para Rasul ini tercermin dengan jelas dalam sebuah kutipan yang berasal dari perkumpulan tersebut. Kutipan ini bernada separuh lelucon, separuh Kantian: satu-satunya yang “riil” adalah perkumpulan itu sendiri; sedangkan seisi dunia hanyalah “fenomenal”. Maynard sendiri menyebut para non-Rasul sebagai “fenomena”. Arti dari semua ini adalah bahwa dunia luar dianggap oleh mereka sebagai sesuatu yang kurang substansial, kurang layak diperhatikan selain kehidupan kolektif perkumpulan itu sendiri ….Pernyataan itu adalah lelucon yang dipuntir secara serius, (Skidelsky, 1983:118) “Melalui perkumpulan inilah,” tulis Bertrand Russell, yang juga seorang Rasul, dalam otobiografinya, “saya dengan cepat dapat mengenal orang-orang terbaik yang pantas dikenal”. Tentu saja, Russell menuturkan bahwa saat Keynes dewasa meninggalkan Cambridge, ia [Keynes] pergi ke dunia sambil merasa dirinya adalah seorang pendeta sebuah sekte yang sedang mengunjungi wilayah-wilayah asing. “Penyelamat sejati bagi Keynes,” kata Russell dengan tanggap, “berada di lain tempat, yaitu di antara mereka yang setia di Cambridge” (Crabtree dan Thirlwall 1980: 102). Atau, sebagaimana dituliskan sendiri oleh Maynard di masa mahasiswanya dalam sebuah surat kepada teman dan sesama pimpinan, Giles Lytton Strachey: “Apakah keunggulan moral kita yang kolosal ini sebuah monomania? Menurut saya, hampir semua orang di dunia [di luar Kelompok Rasul] tidak pernah melihat apa-apa—mereka terlalu bodoh atau terlalu jahat” (Skidelsky 1983: 118).[2]

Dua sikap dasar mendominasi kelompok tertutup ini di bawah perlindungan Keynes dan Strachey. Yang pertama adalah keyakinan berlebihan mereka terhadap pentingnya cinta dan persahabatan pribadi seraya melecehkan aturan-aturan atau prinsip-prinsip umum yang mereka anggap membatasi ego; dan kedua, rasa permusuhan dan rasa benci mereka terhadap nilai-nilai dan moralitas kelas menengah. Konfrontasi para Rasul ini dengan nilai-nilai borjuis terlihat pada puji-pujian mereka kepada estetika garda-depan, anggapan mereka bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang secara moral lebih superior (sedangkan biseksualitas ditempatkan jauh di bawahnya sebagai nomor dua[3]), dan kebencian mereka terhadap nilai-nilai tradisional keluarga, seperti penghematan atau penekanan terhadap pentingnya masa depan atau jangka panjang alih-alih masa sekarang. (“Dalam jangka panjang,” sebagaimana dikatakan Keynes kemudian dalam ucapannya yang terkenal, “kita semua mati”.)

KELOMPOK BLOOMSBURY

Setelah lulus dari Cambridge, Keynes dan beberapa kolega Rasulnya menetap di Bloomsbury, sebuah wilayah yang tidak modis di utara London. Di sana mereka mendirikan Kelompok Bloomsbury, yang sekarang terkenal sebagai pusat gerakan garda-depan dalam hal estetika dan moral. Gerakan ini memberi daya pengaruh kultural dan intelektual di Inggris selama tahun 1910-an dan 1920-an. Pembentukan Kelompok Bloomsbury ini diilhami oleh kematian filsuf Viktorian terkemuka yang juga seorang liberal klasik, Sir Leslie Stephen, pada tahun 1904. Anak-anak Stephen, yang merasakan kebebasan dengan kepergian bapak mereka yang terkenal dengan akhlaknya yang ketat, segera mendirikan rumah di Bloomsbury dan mulai menyelenggarakan pertemuan (salon) setiap malam Kamis. Thoby Stephen bukan seorang Rasul, tetapi ia teman dekat Lytton Strachey semasa di Trinity. Strachey dan para Rasul lain, juga teman baik Strachey sejak di Trinity dulu, Clive Bell, menjadi pengunjung reguler pertemuan tersebut. Setelah After Thoby meninggal pada tahun 1906, Vanessa Stephen menikah dengan Bell, dan pertemuan-pertemuan Bloomsbury dibagi menjadi dua kelompok. Karena Clive waktu itu adalah kritikus yang kariernya mulai menanjak dan Vanessa seorang pelukis, mereka mendirikan salon pertemuan Friday Club, yang berkonsentrasi pada seni visual. Sementara Virginia dan Adrian Stephen meneruskan fokus pertemuan hari Kamis pada bidang sastra, filsafat, dan kebudayaan. Akhirnya, seorang Rasul dari Trinity, yaitu Leonard Woolf, teman sejawat Keynes, menikah dengan Virginia Stephen. Di akhir tahun 1909, Keynes pindah ke sebuah rumah di Bloomsbury, berdekatan dengan rumah keluarga Stephen, dan berbagi flat di sana dengan seorang seniman Bloomsbury, Duncan Grant, yang masih keponakan Strachey.

Nilai-nilai dan sikap-sikap mereka selama di Bloomsbury mirip dengan ketika mereka masih menjadi rasul-rasul Cambridge, meskipun kecenderungan artistik mereka kini lebih besar. Dan dengan kecenderungan besar untuk memberontak terhadap nilai-nilai Viktorian, tak mengherankan jika Maynard Keynes menjadi anggota yang dikenal luas di Bloomsbury. Satu hal yang ditekankan secara khusus adalah mengejar seni garda-depan formalistik—yang didorong oleh Roger Fry, seorang kritikus seni yang juga rasul Cambridge; Fry kemudian kembali ke Cambridge sebagai profesor di bidang seni. Virginia Stephen Woolf kelak akan menjadi eksponen terkemuka dalam bidang fiksi formalistik. Dan semua dari mereka mengejar gaya hidup biseksualitas dengan bergonta-ganti pasangan, sebagaimana disoroti dalam biografi Strachey yang ditulis oleh Michael Holroyd (1967).

Sebagai anggota-anggota perkumpulan-kecil kultural di Cambridge, Kelompok Bloomsbury dapat menikmati sejumlah warisan, meskipun jumlahnya tidak berlebihan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kebanyakan dana bagi berbagai pameran dan proyek Bloomsbury berasal dari sorang anggota loyal mereka: Maynard Keynes. Seperti ditulis oleh Skidelsky, Keynes “memberikan otot finansial kepada Bloomsbury, tidak saja dengan menghasilkan banyak uang bagi dirinya sendiri [sebagian besar melalui investasi dan spekulasi finansial], yang ia hambur-hamburkan untuk keperluan Bloomsbury, tetapi juga melalui kemampuannya mengorganisir dukungan keuangan untuk berbagai kegiatan mereka”…. Tentu, sejak Perang Dunia I dan seterusnya hampir tidak mungkin menemukan suatu enterprise, baik kultural ataupun domestik, yang di dalamnya terdapat anggota-anggota Kelompok Bloomsbury yang tidak menerima manfaat dalam satu hal atau lainnya berkat largesse-nya Keynes, kemampuan finansial, atau kontak-kontaknya. (1983: 250; lihat juga 242–51).

SANG ”FILSUF” SEBAGAI PENGEKOR MOOR

Pengaruh terbesar dalam kehidupan dan nilai-nilai yang dianut Keynes, yang merupakan pengalaman yang sangat mengubahnya, terjadi bukan di bidang ekonomi, melainkan filsafat. Beberapa bulan setelah proses inisiasi Keynes menjadi Rasul, G.E. Moore, professor filsafat di Trinity dan yang sudah menjadi seorang Rasul satu decade lebih awal daripada Keynes, menerbitkan karya besar, Principia Ethica (1903). Baik pada saat itu maupun dalam kenangannya tiga puluh tahun kemudian, Keynes memberi pengakuan betapa besarnya dampak Principia terhadap dirinya serta sesama Rasul sejawatnya. Dalam surat pada waktu publikasi buku tersebut, ia menuliskan bahwa karya tersebut amat “mengagumkan dan memesona; yang terhebat di bidangnya” [cetak miring oleh Keynes], dan beberapa tahun kemudian ia menulis kepada Strachey: “Kehebatan dan Orisinilitas Moore sungguh tidak perlu dibesar-besarkan lagi ….Betapa mengagumkannya bahwa hanya kita saja yang mengetahui dasar-dasar teori-etika yang sejati ini …” Dan, dalam sebuah makalah berjudul “My Early Beliefs,” (1938) untuk Kelompok Bloomsbury Keynes mengenang betapa Principia telah “memberi pengaruh kepada kita semua, dan pembahasan sebelum dan sesudahnya, telah mendominasi, dan mungkin masih mendominasi, semua hal lain”. Tambahnya, buku tersebut “sangat menggairahkan, menyegarkan; menandai awal kebangkitan baru, membuka surga di bumi” (Skidelsky 1983: 133–34; Keynes [1951] 1972: 436–49). Untuk sebuah buku filsafat teknis, kata-katanya ini kuat sekali!

Dari mana datangnya kata-kata tersebut? Yang pertama adalah karisma pribadi yang dimainkan Moore terhadap para siswa di Cambridge. Tetapi di luar magnetisme pribadi tersebut, Keynes dan para sahabatnya tidaklah sebegitu tertarik pada doktrin Moore sebagaimana halnya pada interpretasi dan plesetan yang mereka ciptakan sendiri secara khusus berdasarkan doktrin itu. Terlepas dari antusiasme mereka, Keynes dan para sahabatnya hanya menerima apa-apa yang mereka yakini sebagai etika pribadi Moore (yang mereka sebut sebagai “agamanya” Moore), sementara mereka menolak secara total etika sosial Moore (yang mereka sebut sebagai “moralnya” Moore). Keynes dan para Rasul koleganya dengan antusias merangkul gagasan bahwa “agama” terdiri atas momen-momen “kontemplasi dan komunion yang penuh kasih” mengenai dan melalui objek-objek dari cinta atau persahabatan. Namun, mereka menolak semua moral social atau aturan-aturan umum dalam berperilaku. Secara total mereka menolak bab terpenting tentang ”Etika dalam Hubungannya dengan Perilaku”. Sebagaimana dinyatakan oleh Keynes dalam makalahnya di tahun 1938:

Menurut kami, salah satu keuntungan dari agamanya (agama Moore) adalah bahwa hal tersebut membuat moral menjadi tidak diperlukan [lagi] ….Kami sepenuhnya menolak tanggungjawab pribadi untuk menuruti aturan-aturan umum. Kami mengklaim hak untuk menilai setiap kasus individu berdasarkan merits-nya, dan kearifan untuk melaksanakannya dengan sukses. Ini merupakan bagian yang sangat penting dalam keyakinan kita, yang kita anut secara keras dan agresif, dan bagi dunia luar hal tersebut adalah sifat yang paling kentara dan berbahaya. Kami menolak segenap aturan moral, konvensi dan kearifan tradisional. Kami, dapat dikatan, dalam pengertian yang ketat, adalah immoralist. (Keynes [1951] 1972: 142–43)

Para pengamat yang cerdas saat itu dengan tanggap merangkum sikap Keynes dan para koleganya. Bertrand Russell menulis bahwa Keynes dan Strachey telah membelokkan ajaran-ajaran Moore; “tujuan mereka adalah menarik diri ke dalam keteduhan dan perasaan yang menyenangkan, dan memahami bahwa kebaikan itu terbentuk dari rasa saling-mengagumi antarsesama elit” (Welch 1986: 43). Atau, sebagaimana diamati Beatrice Webb dengan saksama, Moorisme di antara para Rasul ini “tidak lain kecuali justifikasi metafisik untuk melakukan segala yang Anda sukai—dan segala yang tidak disetujui masyarakat” (ibid.).

Lalu muncul pertanyaan berikut: seberapa seriuskah pengaruh immoralitas, penolakan aturan-aturan umum yang mengekang ego seseorang, terhadap seorang Keynes dewasa? Sir Roy Harrod, seorang pengikut dan penulis biografi hagiografis, bersikukuh bahwa immoralisme, sebagaimana aspek kepribadian Keynes yang kurang menyenangkan, hanyalah suatu fase dalam keberangkatannya menjadi dewasa, yang dengan cepat digantikan oleh kepahlawanannya. Tetapi banyak aspek dalam karir dan pemikirannya memberi konfirmasi bahwa immoralitas dan sifatnya yang meremehkan kaum borjuis adalah sikapnya sepanjang hayat. Selain itu, dalam makalah yang disampaikannya pada tahun 1938 di usia lima puluh lima, Keynes mengonfirmasikan bahwa dirinya masih menganut segala pandangan di masa mudanya. Katanya, immoralitas “tetap menjadi agamaku yang terselubung. . . . Saya tetap dan akan tetap menjadi seorang immoral” (Harrod 1951: 76–81; Skidelsky 1983: 145–46; Welch 1986: 43).

Dalam kontribusinya yang cukup penting, Skidelsky menunjukkan bahwa buku-ilmiah penting pertama Keynes, Risalah Tentang Probabilitas (atau A Treatise on Probability; 1921), bukan tidak berhubungan dengan segala hal lain yang menjadi urusannya. Karya tersebut merupakan hasil upayanya untuk menutup-nutupi penolakannya terhadap aturan moralitas umum yang ditawarkan Moore. Risalah Tentang Probabilitas mula-mula muncul dalam bentuk makalah yang dibacakan Keynes kepada para Rasul di bulan Januari 1904, tentang bab tertentu yang ingin ditolaknya dalam buku Moor, ”Etika dalam Hubungannya dengan Perilaku”. Membantah pandangan Moore tentang probabilitas adalah rencana lama yang telah menyibukkan pikiran ilmiah Keynes sejak awal 1904 hingga 1914, ketika naskah buku tersebut akhirnya berhasil diselesaikan. Kesimpulannya, Moore dapat memaksakan aturan umumnya untuk tindakan konkret dengan memakai teori probabilitas empiris berdasarkan pada frekuensi. Menurut teori ini, melalui pengamatan terhadap frekuensi terjadinya peristiwa, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang probabilitas kelas-kelas peristiwa tersebut. Guna menghancurkan kemungkinan lain untuk menerapkan aturan yang umum terhadap kasus yang khusus, Risalah tentang Probabilitas Keynes tersebut berhasil mendayagunakan teori a priori klasik mengenai probabilitas, di mana pecahan-pecahan probabilitas dideduksi secara murni oleh logika tanpa memerlukan realitas empirisnya. Skidelsky dengan baik menyampaikan pandangannya:

Dengan demikian, argumen Keynes dapat diartikan sebagai upaya untuk membebaskan orang dalam pengejarannya akan kebaikan…melalui tindakan-tindakannya yang egoistik, sebab orang tersebut tidak perlu memliki pengetahuan tertentu mengenai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan tindakan-tindakan tersebut untuk bertindak secara rasional. Hal tersebut merupakan bagian, dengan kata lain, dari kampanyenya yang terus-menerus menentang moralitas Kristiani. Hal ini mungkin mendapat apresiasi oleh audiensi Keynes di masanya, meskipun hubungannya tidak jelas bagi pembaca modern. Secara lebih umum, Keynes menghubungkan rasionalitas dengan ekspediensi (expediency). Kondisi di sekitar sebuah tindakan menjadi pertimbangan terpenting dalam penilaian kebenaran yang dimungkinkan ….Dengan membatasi kemungkinan dari pengetahuan tertentu Keynes meningkatkan cakupan penilaian intuitif. (Skidelsky 1983: 153– 54)

Kita tidak bermaksud melangkah lebih lanjut ke dalam kerumitan teori probabilitas. Cukuplah dikatakan di sini bahwa teori a priori Keynes akhirnya dipatahkan oleh Richard von Mises (1951) dalam karyanya di tahun 1920-an, Probability, Statistics, and Truth. Mises memperlihatkan bahwa pecahan probabilitas hanya dapat dipakai secara bermakna jika ia melingkupi hukum–yang diturunkan secara empirik–tentang entitas-entitas yang homogen, acak, dan dapat diulang secara tak terhingga. Artinya, tentu saja, teori probabilitas hanya dapat diaplikasikan kepada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia di mana mereka (peristiwa-peristiwa tersebut) terbatas pada hal-hal seperti lotere atau roda roulette. (Untuk perbandingan antara karya Keynes dan karya Richard von Mises, lihat D.A. Gillies [1973: 1–34].) Secara kebetulan, teori probabilitas Richard von Mises diadopsi kemudian oleh adiknya, Ludwig von Mises, meskipun dalam hal-hal lain kedua kakak beradik tersebut biasanya jarang sepaham (L. von Mises [1949] 1966: 106–15).

SANG TEORITISI POLITIS SEBAGAI PENGIKUT BURK

”Apabila Moore bagi Keynes adalah ibarat pahlawan etisnya, maka Burke boleh mengklaim sebagai pahlawan politisnya,” tulis Skidelsky (1983: 154). Edmund Burke? Apa kesamaan dari seorang penganut tradisi konservatif ini dengan Keynes, yang tak lain adalah seorang perencana pusat yang statist dan rasionalis? Sekali lagi, sebagaimana terhadap Moore, Keynes menghormati orang ini dengan memplesetkan gagasan-gagasannya dengan cara khas Keynes—memilih dan memilah elemen-elemen yang sesuai dengan karakter dan temperamennya saja. Apa yang dicomot Keynes dari Burke kiranya dapat memberi petunjuk. (Keynes menyajikan pandangan-pandangannya dalam sebuah esei berkepanjangan berjudul “Doktrin-Doktrin Politis Edmund Burke” yang memenangkan lomba tingkat sarjana). Tulisannya berisi, pertama, oposisi militan Burke terhadap prinsip-prinsip umum ilmu politik dan, secara khusus, dukungannya terhadap kepatutan untuk melawan hak-hak natural yang abstrak. Kedua, Keynes sangat setuju dengan preferensi-waktu Burke yang besar, yakni pandangannya yang merendahkan terhadap ketidakpastian masa depan vs. keadaan sekarang. Oleh karena itu Keynes menyetujui konservatisme Burke dalam arti bahwa ia juga tidak bersimpati dengan pandangan yang memperkenalkan “sikap untuk bersusah-susah sekarang untuk bersenang-senang kemudian”. Ada pula pernyataan Keynes yang bernada sayap-kanan dan secara umum meremehkan masa depan, saat “kita semua mati”. Seperti dikatakan Keynes, “Tugas maha penting pemerintah dan politisilah memastikan kesejahteraan masyarakat kita di masa sekarang, dan bukan mengambil risiko terlalu banyak untuk masa depan” (ibid.: 155– 56). Ketiga, Keynes mengagumi sikap Burke yang menghargai kelompok “organik” elit penguasa Inggris Raya. Meskipun tentunya terdapat beberapa perbedaan dalam hal kebijakan, Keynes bergabung dengan Burke dalam hal menyambut sistem autran aristokratik sebagai hal yang baik, asalkan personel penguasanya dipilih dari lingkungan organik elit yang ada.

Dalam tulisannya tentang Burke, Keynes mencatat, “Ia berpendapat bahwa mesinnya sendiri [negara Inggris] cukup baik, asalkan kemampuan dan integritas para pengendalinya saat ini dapat dipastikan”. (Ibid., hal. 156)

Selain pandangan neo-Burkean Keynes yang tidak menghargai prinsip, kurang memperdulikan masa depan, dan mengagumi kelompok yang berkuasa saat itu di Inggris, Keynes juga meyakini bahwa ketaatan terhadap kebenaran merupakan persoalan cita rasa semata dan hanya memiliki tempat kecil, atau tidak sama sekali, dalam politi. Ia menuliskan: “Preferensi terhadap kebenaran atau ketulusan sebagai metode barangkali sebuah prasangka yang didasari oleh baku estetik atau standar pribadi, sehingga tidak konsisten, dalam politik, dengan kepentingan praktis” (Johnson, 1978: 24). Tentu, Keynes menunjukan selera yang positif untuk berbohong dalam politik. Baginya, menciptakan statistik agar sesuai dengan proposal-proposal politisnya merupakan hal biasa, dan ia juga terbiasa membesar-besarkan inflasi moneter dunia dengan hiperbola dan berpendapat bahwa “kata-kata haruslah sedikit liar—sebagai serangan bagi pikiran bagi mereka yang tidak berpikir”. Namun, yang memang cukup kentara sekali, begitu ia mencapai kekuasaan, Keynes mengakui bahwa pernyataan-pernyataan hiperbola semacam itu harus dibuang: “Ketika kursi kekuasaan dan otoritas sudah dicapai, lisensi puitis tidak diperlukan lagi” (Johnson and Johnson 1978: 19–21).

KEANGKUHAN DAN KEPALSUAN SANG EKONOM

Pendekatan Maynard Keynes dalam ekonomi tidak berbeda dengan sikapnya dalam hal filsafat dan kehidupan secara umum. “Saya takut pada ‘prinsip,’” katanya kepada komite Parlemen di tahun 1930 (Moggridge 1969: 90). Prinsip hanya akan mengurung kemampuannya untuk merenggut kesempatan yang ada dan akan menghambat hasratnya terhadap kekuasaan. Untuk tujuan tersebut, ia siap menelantarkan keyakinan-keyakinan sebelumnya dan siap mengubah pikirannya semudah membalik tangan, sesuai situasi yang ada. Satu contoh gamblang misalnya adalah pandangannya terhadap perdagangan bebas. Sebagai seorang Marshallian yang baik, satu prinsip politik-ekonomi yang tampaknya akan dianut Keynes sepanjang hayatnya, adalah sikap setia kepada kebebasan dalam perdagangan. Di Cambridge ia pernah menulis kepada seorang sahabat baiknya: “Tuan, Saya membenci semua pendeta dan proteksionis. . . Semoga runtuhlah semua uskup dan tarif”. Selama tiga dekade berikutnya, intervensi-intervensi politiknya hampir bertema tunggal, yaitu mempromosikan perdagangan bebas (Skidelsky, 1983: 122, 227– 29). Kemudian secara tiba-tiba, di musim semi tahun 1931, Keynes dengan lantang menyuarakan proteksionisme, dan selama tahun 1930-an ia memimpin parade untuk tujuan nasionalisme ekonomi dan untuk kebijakan-kebijakan yang secara blak-blakan to “begger-thy-neighbor”.* Tetapi selama Perang Dunia II, Keynes beralih kembali ke perdagangan bebas. Perubahan sikapnya yang secepat kilat tampaknya tidak pernah terpengaruh oleh proses pencarian jiwa atau bahkan keraguan.

Akibatnya, tentu saja, di awal tahun 1930-an, Keynes dicemooh secara luas di pers Ingris atas pandangan-pandangan bunglonnya. Seperti ditulis oleh As Elizabeth Johnson: Dialah Keynes, sang manusia karet India; di harian Daily News dan Chronicle tanggal 16 Maret 1931, tertulis berita headline, “Akrobat Ekonomi Tn. Keynes”—dengan ilustrasi bersketsa “Atraksi Hebat. Tn. John Maynard Keynes, ‘Si Manusia Tanpa Tulang,’ berpaling dari dirinya sendiri dan menelan angin kering” . . . (1978: 17)

Namun demikian, Keynes, yang menganggap dirinya selalu benar, tidak ambil pusing atas semua tuduhan inkonsistensi tersebut. Tentunya mudah bagi Keynes untuk mengadopsi keyakinan tersebut mengingat ia tidak memerdulikan prinsip sama sekali. Maka, ia pun selalu siap untuk ”menukar kudanya” dalam pengejaran untuk memperluas egonya melalui kekuatan politis. Seiring dengan waktu, Elizabeth Johnson menulis, Keynes “memiliki gagasan yang jelas mengenai peran yang diembannya di dunia; ia adalah. . . kepala penasehat ekonomi di dunia, bagi Kanselir Departemen Keuangan saat ini, bagi menteri keuangan Perancis, . . . bagi presiden Amerika Serikat”. Pengejaran kekuasaan bagi dirinya sendiri dan bagi kelas yang berkuasa berarti, tentu saja, peningkatan ketaatan pada gagasan-gagasan dan institusi-institusi tentang of perekonomian yang dikelola secara sentral. Dari sekian banyak orang cakap dalam lingkunan elit organik yang memerintah bangsanya, ia menempatkan dirinya sendiri dalam peran krusial sebagai pakar-teknisi, semacam “filsuf sang raja” versi abad dua puluh atau, setidaknya, sang filsuf yang menuntun raja. Tak mengherankan jika Keynes “menyambut gembiara kesediaan Presiden [Franklin D.] Roosevelt sebagai kepala negara pertama yang menerima nasehat teoritisnya sebagai dasar bagi tindakan berskala-besar” (Johnson dan Johnson 1978: 17–18).

Tindakan adalah apa yang diinginkan Keynes dari pemerintah, khususnya tindakan yang direncanakan dan dikomando langsung oleh dirinya sendiri. Seperti ditulis oleh Johnson:

Sikapnya yang oportunis berarti bahwa ia bereaksi langsung dan seketika terhadap suatu peristiwa. Ia biasa memberi jawaban, menulis memorandum, menerbitkan seketika, untuk isu apapun, . . . dalam Perbendaharan Perang Dunia II, ia nyaris membuat koleganya gila dengan kecenderungannya untuk “mencicipi setiap kue”. “Jangan cuma berdiri di sana; lakukan sesuatu!”, motto yang populer saat ini, barangkali cocok untuknya. (Ibid.: 19)

Johnson mencatat bahwa “sikap naluriah Keynes dalam setiap situasi baru adalah mengasumsikan bahwa tidak ada seorang pun yang mampu bertindak untuk mengatasi hal tersebut; kalaupun ada, maka mereka melakukannya secara keliru. Hal ini merupakan kebiasaan pikiran sepanjang masa yang didasari oleh keyakinan bahwa dirinya dipersenjati dengan otak yang superior…dan, bahwa sebagai Rasul Cambridge, ia memiliki sensibilitas yang superior” (ibid.: 33).

Satu ilustrasi yang mengejutkan tentang keangkuhan tanpa justifikasi Maynard Keynes serta ketidakbertanggung-jawabannya secara intelektual terlihat dalam reaksinya terhadap karya brilian dan pionir Ludwig von Mises, Treatise on Money and Credit, yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1912. Saat itu Keynes baru saja diangkat menjadi editor jurnal ekonomi terkemuka di Inggris, Cambridge University’s Economic Journal. Ia mengulas buku Mises itu, dengan memberi sedikit waktu saja. Buku tersebut, tulisnya dengan nada merendahkan, “cukup bermanfaat” dan “mencerahkan,” dan sang pengarangnya pasti “membaca dengan luas,” tetapi Keynes menyampaikan kekecewaannya dengan mengatakan bahwa buku tersebut tidak “konstruktif” dan tidak juga “orisinil” (Keynes 1914). Reaksi yang sembarangan ini berhasil membunuh minat orang terhadap buku Mises di Inggris Raya, dan Money and Credit pun tetap tidak diterjemahkan hingga dua decade yang menentukan kemudian. Ulasan Keynes tersebut cukup aneh, mengingat buku Mises tersebut sangat konstruktif dan sistematis, selain juga juga orisinil. Bagaimana mungkin Keynes tidak melihatnya demikian? Teka-teki ini akhirnya terjawab satu setengah decade kemudian, ketika dalah suatu catatan kaki dalam Treatise on Money karyanya sendiri, Keynes dengan malu-malu mengakui bahwa “dalam bahasa Jerman, saya hanya dapat mengerti dengan jelas apa-apa yang sudah saya ketahui—jadi gagasan-gagasan baru akan terselubung bagi saya melalui kesulitan-kesulitan dalam bahasanya” (Keynes 1930a: I, 199 n.2). Benar-benar keterlaluan. Begitulah watak Keynes: mengulas buku dalam sebuah berbahasa asing yang membuatnya tidak mampu memahami gagasan-gagasan baru, dan kemudian menyerang buku tersebut dengan mengatakan tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya merupakan puncak sikap angkuh dan tidak bertanggungjawab.[4]

Aspek lain dari kesombongan Keynes yang berlimpah adalah keyakinannya bahwa ia banyak melakukan hal-hal orisinil dan revolusioner. Suratnya kepada G.B. Shaw di tahun 1935 (menjadi) terkenal: “Aku berkeyakinan akan menulis sebuah buku tentang teori ekonomi yang akan merevolusi…cara dunia memandang persoalan-persoalan ekonomi. . . . bagiku sendiri, aku tidak sekadar berharap tentang apa yang saya katakana; di dalam benak saya, saya merasa sangat yakin” (Hession 1984: 279). Namun, keyakinannya terhadap kesombingannya tidak terbatas pada Teori Umum saja. Bernard Corry menunjukkan bahwa “Kira-kira sejak pertama kali ia menghasilkan karya ekonominya ia mengklain akan merevolusi ilmu ekonomi”. Begitu terilhaminya Keynes akan kesetiaan pada kreativitasnya hingga ia bahkan memproklamirkan orisinalistas makalahnya tentang siklus bisnis yang sebenarnya didasari oleh tulisan D. H. Robertson, Study of Industrial Fluctuations, tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan di tahun 1913. Corry mengaitkan sikap Keynes tersebut dengan apa yang selalu ditekankan dalam Kelompok Bloomsbury mengenai “Orisinilitas” (yang tentunya mereka artikan sesuai keinginan mereka sendiri). Orisinilitas, ditunjukkannya, adalah “salah satu obsesi Kelompok Bloomsbury” (Crabtree dan Thirlwall 1980: 96–97; Corry 1986: 214–15, 1978: 3–34).

Dalam hal klaim seputar isu orisinilitas, Keynes amat terbantu oleh tradisi disiplin ekonomi Cambridge yang dibangun oleh Alfred Marshall. Karena Keynes mantan murid Marshall dan lalu menjadi dosen muda di sana di bawah perlindungan Marshal, mudah sekali baginya untuk menyerap tradisi Marshallian. Marshall sendiri tidak pernah mengklaim tentang kilau orisinilitasnya sendiri, meski ia memang mengklaim telah menemukan secara mandiri [konsep tentang] faedah marjinal yang agak dirahasiakannya, waspada terhadap para siswanya yang mungkin akan mencuri gagasannya. Marshall mengembangkan strategi menjaga dunia Marshallian yang disegelnya kuat-kuat di Cambridge (dan dengan demikian, berarti dalam disiplin ekonomi di Inggris secara umum). Ia menciptakan mitos bahwa karya magnum opusnya tahun 1890, Principles of Economics, telah berisi bangunan sistesis tingkat tinggi, dengan memasukkan segala aspek yang sahih dari semua teori sebelumnya, yang saling berkompetisi dan bertabrakan (termasuk deduktivisme dan induktivisme, teori dan sejarah, faedah marjinal dan biaya riil, jangka pendek dan jangka panjang, Ricardo dan Jevons).[5]

Ia berhasil membuat mitos tersebut populer, dan oleh karenanya menimbulkan pandangan universal bahwa semua yang penting ”sudah dibahas di dalam buku Marshall,” sehinga akhirnya orang tidak perlu lagi membaca karya–karya lain. Jika Marshall telah berhasil mengharmonikan semua pandangan ekonomi yang sepihak dan bersifat satu-sisi, maka tak ada alasan lagi selain semacam antikuarisme untuk membaca semua tulisan demikian [yang bukan karya Marshall]. Akibatnya, ekonom Cambridge yang cakap hanya membaca Marshall, membahas dan menjabarkan kalimat atau paragraf kriptik dalam Buku Hebat tersebut. Marshall sendiri menghabiskan sisa hidupnya untuk menggarap ulang dan menjabarkan Sang Teks; ia menerbitkan tak kurang dari delapan edisi Principles sebelum tahun 1920. Selebihnya adalah “tradisi lisan” Cambridge yang melegenda, di mana para murid dan pengikut setia Marshall dengan antusias mendengarkan dan meneruskan khotbah Orang Hebat tersebut, di samping membaca tulisan-tulisannya yang lain yang lebih rendah, yang biasanya berbentuk naskah atau rapat komisi saja, karena Marshall selalu menyimpan sendiri hampir semua tulisan singkatnya dari jangkauan publikasi hingga menjelang akhir hidupnya. Jadi, para ekonom Marshallian di Cambridge mendapatkan sendiri semacam aura kasta kependetaan, di mana hanya para pengikutnyalah yang berhak atas misteri tulisan suci yang tertutup bagi manusia rendahan.

Dunia Cambridge Marshallian yang tertutup segera mendominasi Inggris Raya; namun ada juga segelintir orang di negeri itu yang menantang pandangannya. Dominasi ini mengakselerasi akibat peran unik Cambridge dan Oxford dalam kehidupan sosial dan intelektual Inggris, khususnya dalam tahun-tahun sebelum terjadinya ledakan pendidikan setelah PD II. Sejak jaman Adam Smith, David Ricardo, dan J.S. Mill, Inggris Raya telah mendominasi teori ekonomi di seluruh dunia, sehingga Marshall dan sektenya berhasil memegang hegemoni tidak saja terhadap ilmu ekonomi Cambridge melainkan juga di dunia (lihat Crabtree 1980: 101–5).[6]

[Bersambung ke Bagian 2]

Jurnal Kebebasan: Akal & Kehendak; Vol. II. Ed. 21, 17 Maret 2008


* Terbit perdana dalam Dissent on Keynes: A Critical Appraisal of Keynesian Economics, disunting oleh Mark Skousen. New York: Praeger (1992). Hal. 171–198. Terjemahan bahasa Indonesia oleh: Sukasah Syahdan; hak cipta ada pada penerjemah, Ciputat, 2007.


[1] Sambil bertanya kepada dirinya sendiri mengapa Frederic W. Maitland, tokoh sejarawan ternama sekaligus seorang anggota Kelompok Rasul, tidak berpengaruh dalam kelompok tersebut pada jamannya, Derek Crabtree menjawab bahwa Maitland kurang beruntung mendapat posisi di Downing College, salah satu kampus yang lebih rendah dan kurang berpengaruh di Cambridge (lihat Crabtree 1980: 18–19).

[2] Bertrand Russell, yang lebih tua satu dekade daripada Keynes, tidak menyukai kelompok Keynes/Strachey. Menurutnya, kelompok tersebut telah mendominasi para anggota mahasiswa selama dekade pertama abad dua puluh, sebagain besar atas dasar keyakinan mereka bahwa homoseksualitas itu lebih superior secara moral daripada heteroseksualitas.

[3] Ketika filsuf John E. McTaggart, yang juga pengajar di Trinity dan seorang Rasul sejak tahun 1880-an, menikah di penghujung hayatnya, ia meyakinkan para Rasul bahwa istrinya hanyalah sesuatu yang “fenomenal” (Skidelsky 1983: 118).

* Kebijakan yang diambil suatu negara untuk mencari keuntungannya sendiri di atas kerugian negara lain. [Penerj.]

[4] Sehubungan dengan persahabatannya dengan Keynes, tulisan Hayek biasanya tidak memuat keangkuhan Keynes dan sikapnya yang keterlaluan. Dalam tulisannya ia hanya menyayangkan bahwa kemampuan bahasa Jerman Keynes kurang baik: “Dunia mungkin akan dapat mengurangi deritanya jika bahasa Jerman Lord Keynes sedikit lebih baik” (Hayek [1956] 1984: 219; lihat juga Rothbard 1988: 28).

[5] Di sini tidak tersedia cukup ruang untuk menjabarkan keyakinan saya secara terperinci bahwa mitos tersebut selain tidak benar ternyata juga membahayakan, dan bahwa yang dilakukan Marshall bukanlah membuat sintesis melainkan sekadar mengukuhkan kembali dominasi Ricardo dan Mill serta teori-teori ekuilibrium dan biaya produksi mereka, sambil memberi lapisan tipis seputar analisis faedah-marjinal.

[6] Selama PD II dan tak lama sesudahnya, serangkaian seminar penghormatan saya di Columbia College berisi pembacaan dan analisis saya secara bab-per-bab terhadap buku Marshall, Principles. Tambahan pula, ketika tengah mempertahankan tesis doktoral saya mengenai sejarah pemikiran, John Maurice Clark seorang figur yang dihormati, mengatakan bahwa saya tidak perlu membaca Jevons karena “semua kontribusinya sudah tercakup dalam karya Marshall.”

Entry filed under: estetika, Featured, mitos. Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .

Antara Fair Play dan Keadilan Sosial Kemerdekaan dan Kebebasan

4 Comments Add your own

  • 1. Sosok Keynes (Bag. 2) « Akal & Kehendak  |  28 March, 2008 at 3:45 pm

    […] Bagian 1 serial tulisan ini a.l. memaparkan latar belakang kepribadian dan pendidikan Keynes, di Bagian 2 […]

    Reply
  • […] uang, sejarah Rupiah, penurunan tingkat kemakmuran dan lain-lain telah disinggung di bagian pertama serial artikel Ilusi dan Kemakmuran. Di Bagian 2 disinggung antara lain “kebijakan” […]

    Reply
  • 3. vibie ananda  |  30 July, 2009 at 8:16 pm

    Thank you atas semua infonya. Info yg diberikan sangat membantu saya karena jelas dan padat.

    Reply
  • 4. nii  |  15 January, 2010 at 2:27 pm

    i just wanna say thank u very much …,
    coz u’re information is needfull for me ..

    thank’s …

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations