Tentang Program Anti-Kemiskinan dan “Orang-Orang Yang Terlupakan”

15 November, 2007 at 1:11 am 17 comments

| Nad |

Apa yang tampak atau terdengar bajik cenderung akan diterima akal pikiran tanpa dicermati lagi. Sesuatu yang dianggap baik cenderung gampang di-iya-kan. Jika dapat diterima sebagai sebuah fallacy (kekeliruan/kesesatan berpikir), kita namakan saja ia “fallacy kebajikan”. Dengan rambu ini mari bicara kemiskinan.

make-poverty-history.jpgWacana konvensional tentang upaya pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan (PMPK) biasanya disikapi secara tertentu dan cenderung didukung secara nyaris otomatis oleh hampir semua pihak. Orang awam, selebritis, pekerja seni, politisi, pakar ilmu sosial dan lainnya merasa berkepentingan dan memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam penyusunan atau penyelenggaraan proyek-proyek kemanusiaan untuk menolong si miskin atau si lemah. Bagi banyak pihak, kemiskinan memang kebijakan yang terbaik; sebagai isu paling seksi, ia menjadi titik tolak favorit bukan cuma bagi reformis sejati, tapi juga demagog.

Problem kemiskinan dan usaha PMPK selalu hadir di sepanjang peradaban manusia. Sejak IMF mengangkat isu kemiskinan menjadi program inti di tahun 1990-an, yang segera diadopsi dan dikoordinasi oleh Bank Dunia melalui mega-proyek anti-kemiskinan (mis. Lewat Making Poverty History), negara-negara di seluruh dunia pun menyambutnya dengan penuh antusiasme. Meletakkan masalah kemiskinan pada agenda nasional dan internasional memang satu prioritas dalam agenda institusi ”global” ini, termasuk di Indonesia, yang setelah sejak dua tahun lalu telah memiliki dokumen SPKN-nya sendiri untuk tingkat pusat. Rancangan pembangunan nasional untuk tahun depan (2008) mengambil tema: “Percepatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.”

Persoalan-Persoalan Fundamental Terkait PMPK

Adakah definisi tunggal yang “benar” tentang kemiskinan? Jawabannya, tidak ada. Persoalan fundamental pertama muncul di tingkat definitif ini. Siapa saja yang bergelut dengan statistik sosial atau yang pernah terlibat dalam proyek PRSP akan setuju dengan kenyataan bahwa hingga saat ini definisi kerja yang dipakai seringkali berubah dan masih bersifat ad hoc meski bercap “resmi”. Statistik kemiskinan yang kian kompleks dan rinci tidak banyak membantu pemahaman kita, bahkan mungkin sebaliknya. Definisi kemiskinan rentan terhadap manipulasi; ia gampang diobok sesuai kepentingan.

Problem ini terkait dengan usaha saintistik untuk mengobyektifkan sesuatu yang subyektif untuk diekstraksikan reratanya. Bayangan tingkat kesulitannya dapat ditelusuri secara historis dari perubahan-perubahan definisi yang arbitrer di luar maupun di dalam negeri–mulai dari definisi relatif yang dipakai di jaman Victoria di Inggris, hingga yang dikuantifikasi dengan basis satuan moneter di masa New Deal di Amerika tahun 1930-an, atau dengan ekuivalennya berupa unit asupan kalori (termasuk sejumlah tertentu protein, kalsium, besi, vitamin A, thiamine, riboflavin, niacin, asam askorbik, dll.; belum terlalu lama berselang komposisinya ditambahkan dengan asam amino), atau definisi pendapatan per 2 dolar per hari dari World Bank, atau denominasinya dalam rupiah yang dipakai BPS dan yang masih perlu diakurkan dengan definisi BKKBN.

Persoalan kedua menyangkut hal teknis pemetaan penduduk miskin yang diturunkan dari definisi tadi. Kesulitan pemetaan terutama dalam menghindari penggelembungan data untuk kepentingan segelintir kalangan. Ide yang relatif baru dalam hal pencacahan dan perancangan intervensi kemiskinan adalah dengan menyertakan rakyat miskin atau kaum lemah itu sendiri. Namun, cara partisipatif inipun tidak luput dari kelemahan inheren–paling sering dalam bentuk moral hazard, yang mendistorsi gambaran sesungguhnya.

Persoalan ketiga menyangkut perancangan, pengimplementasian dan pengawasan program intervensi. Tantangan terbesar adalah merancang program yang betul-betul dapat mengangkat keterpurukan manusia serta menentukan secara pas bentuk dan takaran insentif agar terhindar dari overdosis yang dapat mematikan kemandirian.

Persoalan yang tak kalah penting adalah dalam mengukur efektivitas program secara proporsional dengan ongkosnya. Jangankan secara global, mengukur secara akurat total biaya yang dikeluarkan bagi proyek anti-kemiskinan tingkat lokal saja dapat dipastikan amat sulit. Pengukuran empiris ex post juga merupakan absurditas tersendiri, sebab keberhasilan suatu intervensi secara literal maupun matematis hanya bisa diukur dengan mensubtraksikan hasil intervensi dengan hasil yang hanya dapat dibayangkan seandainya intervensi tidak dilakukan. Maka kesenjangan faktual dipastikan terjadi; dan tak ada klaim berarti yang benar-benar dapat ditarik darinya.

Persoalan-persoalan mendasar yang tidak terjawab secara memuaskan di atas menyiratkan bahwa intervensi atas nama PMPK tidak dilandasi justifikasi ilmiah secara memadai. Tanpa dukungan kepastian ilmiah, ditambah dengan lemahnya akuntabilitas pertanggungjawaban penggunaan sumber daya yang tersedot (terutama berupa uang), proyek-proyek PMPK berisiko besar merangsang bukan saja individu-individu yang di saat intervensi tergolong miskin tetapi juga termasuk mereka yang menangkap alasan untuk mengadopsi kemiskinan menjadi gaya hidup. Dengan pendekatan ini, jumlah kaum miskin cenderung akan bertambah. Ketimbang memutus rantai kemiskinan, proyek-proyek PMPK berisiko tinggi mengajarkan generasi kita untuk percaya bahwa mereka dapat hidup dengan cara memanipulasi sumber daya milik orang lain melalui ketergantungan kepada institusi impersonal bernama negara.

Orang-Orang Yang Terlupakan

Kemiskinan adalah satu hal, tapi pemiskinan adalah soal lain. Apakah intervensi PMPK mengakui subtilitas perbedaannya, ternyata ini juga soal yang lain lagi.

Lebih dari seabad lalu filsuf sosial William Sumner di sepanjang bukunya What Social Classes Owe to Each Other (1883, 1974) menekankan bahwa sebagian kesulitan hidup manusia adalah bagian kodrati dari eksistensinya dalam pergumulannya dengan alam. Seseorang tidak memiliki dasar untuk menyalahkan orang lain atas suratan tangan. Jika seseorang dapat mengatasi kesulitan semacam itu dengan baik atau lebih baik dari saya, hal itu tidaklah menjadi dasar bagi persoalan eksistensial saya. Menjadi tua dan memudarnya produktivitas, misalnya, adalah bagian alamiah dalam hidup manusia. Setiap individu tumbuh dengan mengembangkan keterampilan tertentu; ia diberkahi bakat dan temperamen tertentu, dan terlahir dalam keluarga tertentu di wilayah tertentu. Semua faktor ini memastikan bahwa masing-masing kita akan bergelut dengan tantangan alamiah dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda.

Sumner juga mencatat perbedaan penting tentang sifat perjuangan hidup manusia. Menurutnya, ada pula kemalangan yang disebabkan oleh orang lain dan akibat tidak sempurnanya atau kesalahan institusi sosial kita. Ini mirip dengan konsep kontemporernya, pemiskinan. Jika kesulitan jenis pertama hanya dapat diatasi lewat upaya dan energi manusia yang bersangkutan, jenis kedua dapat dikoreksi melalui upaya bersama. Ini tidak menjadi soal sejauh proyek kemanusiaan tersebut dilakukan oleh sesama individu atas dasar derma atau kerelaan. Kesulitan mulai timbul jika jenis pertama ini terus menerus disatukan dan digeneralisir serta dijadikan obyek politik bagi proyek kemanusiaan/sosial.

Kebanyakan proyek yang mengatasnamakan PMPK secara konstan menyapuratakan kedua masalah di atas. Tanpa melihat kemiskinan mana yang akan diintervensi, sumber daya dipapas melalui pajak untuk didistribusikan kepada mereka yang dianggap miskin dan lemah. Dalam penyelenggaraannya, negara (A) melalui agen-agen yang bekerja untuknya (B) menyokong “kaum yang tidak berdaya” (D), melalui sumber daya milik pihak lain (C).

Bagi Sumner, yang disebut terakhir adalah ”Orang-Orang yang Terlupakan.”

Persoalan “makro” semacam beban inflasi yang kronis yang timbul akibat penggunaan mata uang fiat dan ketidakmampuan pengelolaan pemerintah jatuh ke pundak mereka yang terlupakan ini. Dalam setiap wacana, tulis Sumner, fokus perhatian selalu jatuh pada si A dan si B—para reformis sosial, serta kepada D, orang-orang miskin. C, ”Orang-Orang Yang Terlupakan”, selalu luput dari perhatian.

Si C ini adalah individu-individu pekerja dan penabung yang mengurus sendiri segala keperluan untuk perhelatan hidup masing-masing. Segala yang dilakukan pemerintah hanya dapat dilakukan dengan menjumput sebagian sumber daya mereka. Sementara, di punggung orang-orang yang terlupakan inilah sebenarnya peradaban melangkah maju dan standar hidup ditingkatkan. Jika ongkos proyek PMPK ditalangi utang dari E, beban C cuma akan meningkat.

Maka pertanyaannya adalah: apakah legislasi yang memaksa warga negara untuk membantu orang lain adalah sesuatu yang moral dan, secara ekonomi, menguntungkan semua pihak?

Blunder Legislasi

Bagian ini secara singkat membahas hasil proses legislasi yang terjadi di Indonesia, di bawah bendera Tanggung Jawab Sosial Korporat. Tulisan ini mengembangkan artikel saya yang pernah dimuat di sebuah harian.

Sebermula, tanggung jawab sosial perusahaan, dalam tolok ukur moral apapun, adalah gesture yang elegan dan simpatik. Hingga suatu hari, sekelompok politisi mengutak-atik konsep tersebut melalui proses legislasi a la Indonesia, lalu mengacaukannya menjadi konsep yang “fungible” di bawah label Corporate Social Responsibility (CSR). Terhitung sejak Juli lalu, Indonesia resmi menjadi satu-satunya negara yang mewajibkannya.

Lewat Pasal 74 dalam UU baru tentang Perseroan Terbatas tersebut pemerintah secara eksplisit mewajibkan perusahaan yang berkecimpung di bidang SDA untuk menyisihkan dana demi mewujudkan tanggungjawab sosial dan lingkungan tertentu. Apa definisinya serta apa akibat legislasi ini belumlah jelas, sebab produk hukum tersebut tidak mendefinisikannya.

Meskipun sulit berargumen etis oleh sebab tidak adanya sistem etis yang positif, setidaknya konsekuensi-konsekuensi logisnya dapat dianalisis. Pun proposisi yang sifatnya etis harus tetap didasari pada logika yang runtut, sebab pada akhirnya hanya dengan logika ’kebenaran’ etis dapat didekati.

Penetapan UU tersebut mencerminkan pandangan tertentu sebagian dari kita terhadap pengusaha, yang merupakan personifikasi sesungguhnya dari mesin penggerak pertumbuhan ekonomi; merekalah sejatinya agen produktif dalam perekonomian.

Setiap pebisnis sudah harus membayar ijin, pajak, memperoleh barang yang akan dijualnya. Ia menempuh risiko sebab yang namanya laba hanya berada di ujung proses transaksi. Semua biaya umumnya harus dikeluarkan di muka. Sisi lain dari mata-uang produksi ini kerap luput dari perhatian, bahkan dari perhatian para pekerja yang bekerja untuk pengusaha tersebut.

Bilamana diterapkan kelak, undang-undang ini akan langsung menaikkan biaya ekstra yang harus dipenuhi oleh pengusaha sebelum ia boleh membayangkan cara memenangkan persaingan (lokal, regional dan global). Dengan beban tambahan, biaya produksi akan meningkat; biaya ini akan ditransfer kepada konsumen dan dapat berakibat tergerusnya keuntungan (yang masih berupa potensi) atau berkurangnya daya kompetitif produk/layanan pengusaha tersebut.

Bahwa UU tersebut untuk sementara hanya ditujukan bagi para pengusaha pertambangan hanya sedikit memperlambat prosesnya, sebab peraturan, by default, cenderung bertambah daripada berkurang. Pada akhirnya, cara pandang, pendekatan dan perlakuan seperti ini hanya akan memangkas semangat orang dalam dua arah. Kombinasi semuanya akan menciutkan insentif berproduksi baik bagi mereka yang ”berada” maupun mereka yang diasumsikan ”miskin”.

Meminjam perspektif Sumner, dalam kasus ini para pengusaha sedang diubah menjadi Yang Terlupakan. Oleh karena mereka adalah juga para pekerja produktif dan penabung, mereka dipaksa memainkan peran C sekali lagi.

Legislasi kita mengubah karitas sosial dari yang tadinya bersemangatkan kerelaan menjadi keterpaksaan. Dengan blunder ini terbuka jalan bagi terbentuknya rejim koersif yang memaksakan kedermaan dengan cara yang jauh dari semangat karitas dan justru berpotensi memupus semangat atau meringkus insentif berderma sama sekali. Sebab, untuk apa lagi Anda berderma secara suka rela, toh ada pihak ketiga yang sudah mengambil-alih ’tugas’ tersebut? Sebagaimana halnya berbagai intervensi lainnya, pengambilalihan tanggungjawab pribadi menjadi ”tugas” negara berujung pada penumpulan inisiatif individu-individu yang bebas dan penyangkalan terhadap tanggung-jawab pribadi yang mengikuti hak kebebasan tersebut.

Karitas adalah ruang sekaligus instrumen pribadi yang amat penting tempat nilai-nilai sosial-relijius dieskspresikan oleh setiap individu. Kualitas ini, yang membedakan makhluk bernama manusia dari hewan, tidak dapat tergantikan oleh paksaan, semisal lewat proses legislasi, tanpa mencederainya. Tidak ada yang salah dengan karitas, sebab ia kompatibel dengan ajaran agama-agama. Amal ibadah, zakat, sedekah, infaq adalah metode-metode yang tak lekang oleh waktu dan cukup teruji operasinya.

Bahkan ajaran agama-agama dunia tampak lebih memahami kaidah-kaidah ekonomi yang mendasari interaksi antarindividu. Benar, sebagian ada yang mengharuskan derma kepada penganutnya, namun proporsinya pasti dan relatif kecil. Untuk jumlah yang lebih signifikan, perhitungan dan penyelenggaraannya hanya dilakukan setelah berlalunya proses produksi, setelah diterimanya penghasilan, dan bukan sebelumnya. Ajaran-ajaran agama dunia mengajak umatnya untuk berlomba meningkatkan ukuran “kue” produksi, bukan malah menciutkannya.

 

Ajaran-ajaran tersebut dilandasi pemahaman bahwa kesejahteraan duniawi mustahil tercipta dengan cara yang persis berlawanan dari tujuan. Konsep derma kepada si miskin dan si lemah melalui sumber daya orang berada hanya dapat dilakukan dalam prinsip sukarela, bukan dengan jalan merampok si Budi untuk menyokong si Badu.

Epilog
Jika proyek-proyek PMPK yang mengajarkan orang percaya bahwa ia dapat hidup dengan memanipulasi sumber daya orang lain digulirkan, dan blunder legislasi tersebut diteruskan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama niscaya akan terjadi penurunan yang signifikan–bukan dalam hal tingkat kemiskinan, tapi tingkat standar hidup dan kesejahteraan kita semua.

Eksposisi di atas menyiratkan satu-satunya solusi yang tepat dan moral bagi pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Solusi ini, bagi sebagian orang, mungkin terdengar terlalu sederhana, yaitu: serahkan kembali persoalan kemiskinan ini ke tangan individu-individu. Itu saja. Pemerintah cuma perlu mengembalikan dan memastikan kebebasan berekonomi bagi rakyatnya. Semakin drastis ini dilakukan, semakin baik. (*)

add to del.icio.us : Add to Blinkslist : add to furl : Digg it : add to ma.gnolia : Stumble It! : add to simpy : seed the vine : : : TailRank : post to facebook

Entry filed under: Agama, Edisi 12, Ekonomi, Etika & Moralitas, Kemiskinan, Negara & Pemerintah, Politik, Sosialisme, Statisme, Tokoh. Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .

Persoalan-Persoalan Epistemologis dalam Ilmu-Ilmu Pengetahuan yang Mengkaji Tindakan Manusia (Bag.2) Kejahatan dan Kecelaan

17 Comments Add your own

  • 1. rizal  |  19 November, 2007 at 9:54 am

    Mas, ini tulisan yang luar biasa bagus. Salut.

    Reply
  • 2. Editor  |  23 November, 2007 at 10:54 am

    Mas Rizal, terima kasih banyak atas penghargaannya!

    Reply
  • 3. Arya Gaduh  |  10 December, 2007 at 8:32 am

    Sukasah:
    Tulisan yang tajam. Untuk komentar saya, dapat dilihat di sini.

    Reply
  • 4. Editor  |  11 December, 2007 at 12:21 am

    Terima kasih bung Arya, saya sudah mampir ke situs Anda dan sempat juga kirim komentar atas masukan tsb.

    Reply
  • 5. Rajawalimuda  |  13 December, 2007 at 7:44 am

    terima kasih banyak mas..ditulis dengan baik dan enak dibaca

    Reply
  • 6. tony  |  17 December, 2007 at 2:43 pm

    kaya…..

    Reply
  • 7. Maya  |  18 December, 2007 at 6:24 pm

    once again saya for freedom 😉
    met tahun baru 2008!
    ’til next time again…

    Reply
  • 8. Editor  |  19 December, 2007 at 11:04 am

    Selamat Natal dan Tahun Baru, Saya4Freedom!

    Reply
  • 9. Sermatar Abdul Gani  |  25 December, 2007 at 10:12 am

    Sebagai seorang Taruna Akmil, tulisan Bapak semakin menambah wawasan saya sebagai perwira nantinya. Karena saya yakin, saya tidak hanya boleh tau urusan bedil saja, tetapi juga harus peka terhadap rakyat terutama yang masih tergolong miskin. Karena TNI pun lahir dari rakyat.

    Sersan Mayor Taruna Abdul Gani

    Reply
  • 10. Proteksionisme Kita « Akal & Kehendak  |  8 February, 2008 at 11:22 am

    […] penting atas kehidupan seseorang? (Beberapa artikel di Jurnal ini telah membahasnya [terutama ini dan di […]

    Reply
  • 11. Giyanto  |  12 February, 2008 at 1:56 pm

    sehurusnya tiga hal berjalan beriringan: bebas berkompetisi, penjaminan adanya distribusi kekayaan, dan yang paling akhir sifat kedermawanan dari yang kaya….

    Reply
  • 12. Editor A&K  |  12 February, 2008 at 10:18 pm

    Saya sependapat dengan simpulan pertama dan terakhir Anda. Penjaminan distribusi kekayaan akan mengacaukan simpulan pertama, meniadakan simpulan ketiga, dan pada akhirnya berujung pada hancurnya fundamental perekonomian.

    Reply
  • 13. Giyanto  |  13 February, 2008 at 12:43 pm

    kemampuan anda menggunakan logika memang benar…barangkali asumsi anda yang perlu dicermati…, menurut saya, setiap proses transaksi tidak dapat seimbang sepenuhnya, dimanapun, penawar lebih diuntungkan, dan kehendak manusia untuk memenuhi hasratnya sendiri sangat mungkin terjadi, apalagi dalam hal ekonomi, jadi penjaminan distribusi disini ialah soal rekayasa sosial, bukan pada kedermawanan dari pemerintah, disini fungsi dari rekayasa sosial untuk mempengarahi proses-proses ekonomi bisa berjalan secara alamiah…

    Reply
  • 14. Editor A&K  |  13 February, 2008 at 1:49 pm

    Saya bisa saja berasumsi sebaliknya, yaitu bahwa penjual lebih diuntungkan, sebab bukankah kebanyakan toko, bahkan warung sebelah, tidak memberi saya kesempatan untuk menawar?”Maaf, harga pas, Pak!” sudah terlalu sering saya dengar. Tapi di posting di atas saya tidak berasumsi demikian ataupun berasumsi sebaliknya. Sebab persoalan ini sudah dituntaskan dengan amat baik oleh sejumlah ekonom klasik dan neo-klasik, terutama terkait dengan teori subyektivitas nilai, yang mungkin dapat dibaca ulang di buku Rothbard.

    Ini juga terkait dengan sistem preferensi, penilaian, dan kepuasan orang, yang tidak dapat diukur secara matematis. Tingkat preferensi/kepuasan seseorang terhadao satu hal di satu titik waktu dapat berbeda bahkan dari tingkat preferensi/kepuasan orang itu sendiri di titik waktu lain. Tidak ada justifikasi sedikitpun bagi orang untuk bahkan—mengkuantifikasikan—hal tersebut. Ini perlu disetujui. Setelah ini diterima, maka harus diterima pula konsekuensi logisnya: bahwa tidak ada orang lain yang mampu menjalankan atau mengelola hidup orang lain dengan baik kecuali orang yang bersangkutan; bahwa rekayasa sosial—apalagi oleh Pemerintah (yang amat impersonal)–adalah perkara mustahil. Hayek dalam salah satu artikel di sini mengarah pada kesimpulan serupa. Tapi, tentu banyak yang tidak mau percaya hal ini–terutama para politisi dan pihak-pihak pendukung mereka….

    Reply
  • 15. Giyanto  |  14 February, 2008 at 3:27 am

    bagaimana tentang data bahwa 2 orang terkaya di dunia kekayaannya sama dengan PDB 45 negara termiskin?

    Reply
  • 16. Editor A&K  |  18 February, 2008 at 12:09 pm

    Ini pertanyaan bagus; suatu saat perlu dikupas tuntas! Singkatnya, kuncinya ada pada pemahaman terhadap peran pengusaha dalam interaksinya dengan pasar yang bebas, dan dengan pasar yang “seolah” bebas.

    Reply
  • 17. Giyanto  |  18 February, 2008 at 1:57 pm

    Ya saya sepaham dengan hipotesa tersebut…, selama ini kita bukan pada pasar yang “bebas” tapi “seolah-olah bebas”….parahnya: itu dipicu oleh kebijakan ekonomi politik internasional! Dari teori modernisme sampai Teori depedencia belum ada yang mampu menjawabnya…barangkali kalau ekonomi dunia udah “runtuh” baru kita sadar…thank bung Nad!!!

    Reply

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


AD IGNOTUM*

Akaldankehendak.com
Volume II Edisi 26 (21 Apr. '08)

Subscribe by email or reader

Stop Press: Edisi mendatang: Wawancara eksklusif Akaldankehendak.com dengan filsuf dan profesor ekonomi di UNLV, seorang distinguished fellow di Ludwig von Mises Institute, dan editor Journal of Libertarian Studies: Hans Hermann Hoppe.

Arsip

Pojok Sponsor

buku_rothbard.jpg Murray Rothbard, Apa Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?; ISBN : 97897916217 -4-8; Terj. & Pengantar: Nad; PT. Granit, Yayasan Obor Indonesia; Kini tersedia di toko-toko buku terdekat. (Intip cuplikannya).

Please make some donations